Rabu, 19 Desember 2007

Pantai Jayanti: Lelaki yang Diniscayakan

SOSOK tua itu anteng berdiri di ujung dermaga pelabuhan tradisional Jayanti di pesisir selatan Cianjur, Jawa Barat. Sementara lidah-lidah ombak Samudera Hindia membusa di bawah kakinya. Sepuluh langkah di belakang tubuh ringkihnya, saat itu tengah berlangsung hiruk-pikuk hajatan "Pesta Nelayan" yang dihadiri para pejabat pemerintah setempat.

Keberadaan lelaki berusia 80 tahun itu luput dari hiruk-pikuk tersebut. "Mereka memang tidak pernah peduli sama kehadiran Uwak," ujar kakek 7 cucu yang dalit disapa Wak Abeng itu, lirih. Padahal, jika menelisik kembali catatan masa silam, lelaki yang bukan apa-apa tersebut adalah salah seorang perintis dibukanya pantai Jayanti menjadi sebuah pelabuhan nelayan, 40 tahun silam. Dan, satu-satunya yang masih hidup.

Bagi Abeng, ketidakpedulian orang-orang tak menjadi soal. Dia masih bisa memberi pengakuan pada diri sendiri bahwa sejak membuka pantai Jayanti menjadi sebuah pelabuhan, mulai tahun 1967 hingga sekarang, di dalam tubuhnya tetap mengalir darah nelayan. Laut adalah hidupnya, meskipun saat ini dia sudah tidak kuat lagi melaut. Dia pun tak berharap mendapat kemasyhuran atau penghargaan berlebih meskipun telah memberikan kehidupan bagi ratusan nelayan yang saat ini turut menggantang nasib dari hasil melaut di sepanjang pesisir Jayanti. "Uwak tidak butuh apa-apa, sebab sudah merasa cukup dengan kesederhanaan selama ini," tutur lelaki yang pada tahun 1988 mendapat surat pengukuhan sebagai veteran pejuang 1945 dari Menteri Pertahanan RI (L.B. Moerdani, saat itu) dan piagam penghargaan dari Ketua Legiun Veteran RI yang saat itu dipegang oleh M. Taher.

Namun, menjelang uzur, kehadirannya yang niscaya di pelabuhan Jayanti itu, akhir-akhir ini sering membuat Abeng merasa hidupnya begitu tak berarti. "Tak satu potong pun nama Abeng disebut," keluhnya seakan-akan suara rajukan kanak-kanak.

Ah, barangkali memang tak perlu dan tak cukup penting. Barangkali pula, memang tak perlu mengharap. Atau barangkali, ya: Cukup satu tanya, meskipun cuma sepatah kata, dari satu orang. "Biar Uwak merasa pernah melakukan sesuatu yang dianggap berarti," katanya.

Abeng, yang lahir di Garut pada tahun 1927 lampau, mengaku saat pertama kali membuka pesisir Jayanti, daerah tersebut masih berupa rimba pekat yang tidak pernah didatangi orang. Hanya bermodal keberanian sebagai veteran yang pernah ikut hijrah ke Yogyakarta, dia pun terus berusaha menaklukkan tempat baru tersebut, meskipun berkali-kali mengalami musibah ketika berkali-kali pula perahunya karam diterabas puncak-puncak gelombang. Namun, setelah berhasil memahami karakter ombak di sekitar pesisir Jayanti, dia pun mulai menuai hasil. "Ikan di perairan ini sangat banyak, tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut, satu perahu bisa dipenuhi ikan dalam waktu kurang dari satu jam," imbuhnya.

Sejak itu, orang-orang pun mulai banyak yang mengikuti jejaknya menjadi nelayan di Jayanti. Akhirnya, pesisir yang tadinya senyap dan masih ditumbuhi bayangan kelam itu menjadi ramai hingga terbentuklah pelabuhan tradisional tempat melabuhkan perahu. Dan, saat ini, tak kurang dari 700 nelayan aktif menggantungkan hidup di Jayanti, yang secara administratif lokasi persisnya berada di Kampung Jayanti, Desa Cidamar, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, atau sekitar 160 kilometer arah selatan kota Cianjur. Pelabuhan Jayanti yang awalnya hanya merupakan pendaratan perahu alamiah, kini telah menjadi pelabuhan ramai. Belakangan, di sana dibangun dermaga, pendaratan perahu, dan tempat pelelangan ikan yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

Memasuki penghujung senja usianya, Abeng lebih banyak menghabiskan hidupnya di rumah yang berjarak kurang dari 100 meter dari bibir pantai. Namun, debur ombak pantai selatan tak mampu menghapus gurat-gurat kesepian lelaki tua ini. "Mereka (para pejabat dan nelayan) pernah memberi janji, tapi Uwak hanya menerima harap," kata Abeng sambil berlinang.

Menempuh penghujung hidup dan sisa-sisa usia, Abeng hanya tinggal memelihara harapan. Yakni, tentang pengakuan dan kepedulian. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa berharga serta memiliki arti. Termasuk (juga) harapan terhadap seseorang (pejabat, tentu saja) yang memberi janji: sebuah perahu! "Uwak tak pernah meminta, tapi dia yang memberi janji. Janji itu akan Uwak bawa sampai mati," katanya. Meskipun lirih, ada geram dalam suaranya.*

Rabu, 28 November 2007

Prawatasari

Menggagas Pahlawan Nasional

"HAMPIR setiap minggu, saya berolahraga di Lapang Prawatasari (dulu disebut Lapang Joglo, red.), tapi masih tidak tahu siapa itu Prawatasari," demikian diungkapkan Bupati Cianjur, Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, M.M., kira-kira 5 bulan silam. Namun, bisa jadi, keterusterangan yang disampaikan orang nomor satu di Cianjur ini, terjadi pula pada orang lain. Bahkan, mungkin kebanyakan orang Cianjur sendiri tidak mengetahui mengenai sejarah kepahlawanan tokoh kharismatik yang tahun 1703-1707 melakukan perlawanan terhadap VOC di wilayah Cianjur bagian selatan (Jampang) ini.
Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pihak yang memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan pejuang bernama lengkap Raden Haji Alit Prawatasari ini, berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat Cianjur. Dewan Kesenian Cianjur (DKC) mendukung Pemerintah Kab. Cianjur menjadikan tahun 2007 sebagai tahun "300 Tahun Gugurnya Prawatasari". Selain itu, ada pula kegiatan-kegiatan lain, di antaranya ziarah ke Makam Aria Salingsingan di Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah, yang disebut-sebut sebagai makam Prawatasari.
Kemudian, sejak Juli hingga November 2007, setiap komite seni di DKC, seperti komite teater, seni rupa, sastra, film, dan lainnya menyiapkan pergelaran seni yang mengangkat kepahlawanan Prawatasari. Bahkan, pelukis Soni Ahmad Soleh, sudah menyelesaikan satu buah lukisan dengan ukuran 2 X 3 meter, yang menggambarkan Pasukan Siluman Prawatasari sedang menggempur pasukan Belanda. "Untuk ke depannya, kami berencana menerbitkan buku sejarah bergambar untuk anak-anak SD yang akan dibagikan secara gratis ke setiap sekolah," kata Ketua DKC, Andry M. Kartanegara, SH.

Kajian dan Penelitian
Sejarah kepahlawanan Raden Prawatasari hingga kini memang dianggap minim. Para ilmuwan maupun ahli sejarah pun, seperti dikatakan Aan Merdeka Permana, penulis yang menggemari cerita-cerita sejarah, tak banyak tulisan atau pendapat dari pihak "ilmuwan resmi" yang bercerita tentang perjuangan Prawatasari dari Jampang. Padahal, di sebagian masyarakat tradisional, cerita mengenai Prawatasari ini sangat dihapal. Bahkan, masih menurut tilikan Aan Merdeka, taktik kemiliteran Haji Prawatasari dalam menghadapi VOC telah gunakan 12 taktik tempur Pajajaran, amat dipercaya mereka. "Haji Prawatasari dibesarkan di Jampang, sementara kampus perguruan tinggi ilmu kemiliteran Pajajaran terdapat di wilayah antara Surade dan Jampangkulon. Dengan demikan sangat pas bila pengetahuan militer Haji Prawatasari didapat dari alumni perguruan tinggi kemiliteran Pajajaran di pakidulan Sukabumi," cetus dia.
Jejak kepahlawanan Prawatasari yang benar-benar resmi muncul ketika terbit Surat Perintah Panglima TNI No. Sprin. 783/PXII/1984 dan Surat Keputusan Panglima TNI No. Skep. 182/IV/1985 tanggal 8 April 1985. Kedua surat tersebut menjadi dasar dibentuknya tim yang bertugas meneliti, menelaah, dan menyusun peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh pejuang perlawanan rakyat di Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten). Hasil seleksi tim tersebut terpilih 3 tokoh dan peristiwa sejarah yang memenugi kriteria Pahlawan Keprajuritan Nasional, yakni Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) dari Banten, Raden Alit Prawatasari (1703-1707) dari Priangan, dan Bagus Rangin (1802-1819) dari Cirebon.
Harapan dan keinginan warga Cianjur untuk menempatkan Prawatasari sebagai Pahlawan Nasional tidak pernah surut, meskipun secara literatur sangat minim. Aan Merdeka, dalam penjelasan yang disampaikan dalam acara "Seminar Sehari tentang H. Alit Prawatasari dalam Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional" di Gedung DPRD Kab. Cianjur, Kamis (8/11) beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa dia pernah menemui H. Makbul Husein yang ditengarai sebagai keturunan Prawatasari. "Beliau punya catatan-catatan mengenai Prawatasari, tapi tidak bisa ikut membaca dengan dalih belum saatnya," kata Aan.
Berbagai urun pendapat pun muncul pada kegiatan seminar yang digagas DKC bekerja sama dengan Kantor Kesbang Kab. Cianjur tersebut. Selain Aan Merdeka Permana, hadir pula sebagai narasumber antara lain Yoseph Iskandar, Dr. A. Sobana Harjasaputra MA, dan Dyah Padmini, Ph.D. Ada pula Sekretaris Pusat Kesejarahan dan Tradisi TNI, Kol. Inf. R. Ridhani serta Kepala Museum Keprajuritan Indonesia, Letkol CAJ Sutanto.
Yoseph Iskandar mengemukakan temuan yang telah masuk catatan Pusat Kesejarahan dan Tradisi TNI bahwa perjuangan Prawatasari telah diakui resmi oleh pemerintah sebagai tokoh Keprajuritan Nasional. Pemerintah pun, katanya, melalui Markas Besar TNI telah mengabadikannya dalam bentuk patung dan fragmen di Museum Keprajuritan Indonesia, Komplek Taman Mini Indonesia Indah.
Dyah Padmini mengatakan, Prawatasari merupakan salah seorang pelaku sejarah yang merintis perjuangan bangsa dalam menegakkan kedaulatan rakyat di jamannya. Dyah setuju jika pemerintah menganugrahi Prawatasari gelar Pahlawan Nasional. "Dalam konteks ini, gelar merupakan peringatan terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi di Cianjur-SUkabumi pada awal abad ke 18 dengan pelakunya adalah Prawatasari. Gelar yang akan diajukan ini juga bisa menjadi penyulut semangat nasionalisme bagi generasi saat ini," ungkapnya.*


Andry M. Kartanegara, SH, Ketua Dewan Kesenian Cianjur
"Ingin Meneruskan Amanah 20 Tahun Lalu"

MASYARAKAT Jawa Barat selama ini lebih mengenal nama-nama pahlawan nasional Indonesia yang berjuang ketika VOC berkuasa, seperti Pangeran Diponegoro, Patimura, Sisingamangaraja, atau Hasanuddin. Nama-nama pejuang yang dikenal kebanyakan masyarakat itu, umumnya berasal dari luar Jabar.
Sementara itu nama-nama pejuang, termasuk tokoh pemimpin perjuangan rakyat dari Tatar Priangan, relatif sedikit yang dikenal masyarakat. Padahal, banyak pejuang besar dari Tatar Sunda yang memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa pamrih serta memiliki andil besar terhadap negeri ini. Namun nama mereka kurang dikenal masyarakat Jabar, salah satu contoh Raden Alit Prawatasari, ulama Cianjur yang berjihad melawan VOC pada tahun 1703-1707.
Apabila melihat peran dan kiprahnya selama memimpin perjuangan, seharusnya Raden Prawatasari pantas menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional. "Di tatar Cianjur, sosok Prawatasari merupakan tokoh pimpinan perjuangan rakyat dan ulama yang semasa hidupnya berjihad melawan penjajah. Melihat perjuangannya, sebagai komponen masyarakat merasa perlu mengusulkan namanya agar mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah pusat," kata Andry M. Kartanegara, SH, Ketua Dewan Kesenian Cianjur (DKC), pada acara Seminar Sehari tentang H. Alit Prawatasari, dalam Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional di Gedung DPRD Kab. Cianjur, Kamis (8/11) lalu.
Menurut Andry, melalui seminar yang digelar Dewan Kesenian Cianjur bekerja sama dengan Kantor Kesbang Kab. Cianjur, pihaknya ingin melanjutkan amanah yang telah dirintis para seniman cianjur 20 tahun lalu. Tujuannya mengangkat pahlawan putra Cianjur, Rd. Prawatasari, supaya bisa mendapat gelar Pahlawan Nasional yang belum terealisasi sejak tahun 1987 lalu. "Kami mulai merintis kembali tahun 2005 lalu, diawali dengan mengusulkan kepada Pemkab. Cianjur untuk mengabadikan nama Prawatasari pada salah satu tempat di Cianjur Kota. Alhamdulillah, Bupati Cianjur bersama DPRD Kab. Cianjur telah menerbitkan Perda dan menetapkan Lapang Joglo menjadi Lapang Prawatasari," jelasnya.
Tahun 2007, lanjut Andry, bertepatan dengan tiga abad mengenang perjuangan Prawatasari, DKC menggulirkan berbagai program kegiatan bertema "Mengenang Tiga Abad Perjuangan Prawatasari", seperti pementasan drama dan lukisan Prawatasari, festival film pendek yang ditonton tidak kurang dari 4.000 pelajar Cianjur. "Menyambut Hari Pahlawan, kami menggelar seminar sehari tentang Prawatasari," ungkapnya.
Dikatakan Andry, untuk mendukung keinginan agar Prawatasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian dan kunjungan ke berbagai tempat, di antaranya ke Kp. Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah. Walaupun belum diuji kebenarannya, sampai saat ini di daerah tersebut diyakini terdapat makam Prawatasari. Lalu ke Pusat Kesejarahan TNI, dan ternyata namanya belum tercatat sebagai pahlawan nasional. Padahal jika dilihat dari catatan perjuangannya, Prawatasari merupakan sosok ulama yang menentang penjajahan Belanda. Malahan, hingga akhir hayatnya, Prawatasari terus berjuang, dengan wilayah tidak hanya di Cianjur, tetapi meluas ke beberapa daerah di Jabar, Banten dan Jateng. "Perjalanan masih panjang dan perlu ada tim khusus. Mudah-mudahan melalui sebuah seminar, paling tidak bisa menghasilkan suatu kesimpulan sekaligus menjadi penentu untuk mengusulkan nama Prawatasari menjadi Pahlawan Nasional," katanya.*

Rabu, 07 November 2007

Kabuyutan (Situs) Ciburuy, Garut

Pusat Studi dan Dokumentasi Jaman Bihari
SIANG itu, Sabtu (3/11), awan hitam menggantung di langit Garut. Namun, mendung tak menyurutkan minat Julian Millie untuk terus melangkah ke kaki Gunung Cikuray, tepatnya ke Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. Hasrat Ketua Departemen Antropologi Monash University Australia ini begitu besar untuk menyambangi sebuah situs bernama Kabuyutan Ciburuy yang konon menyimpan puluhan manuskrip dari abad 16 Masehi. "Saya baru pertama kali datang ke sini. Saya tertarik mengetahui apa itu Kabuyutan Ciburuy," ujar bule yang fasih Bahasan Indonesia dan sedikit Bahasa Sunda ini.

Julian tidak sendirian. Dia datang bersama rombongan pelancong yang memiliki minat sama soal naskah-naskah kuno. Ikut pula ahli filologi dari Puat Studi Sunda, Dra. Tien Wartini, M.Hum., dan Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita.

Menurut Warjita, Tien Wartini, Kabuyutan Ciburuy bisa diibaratkan sebagai sebuah pusat studi pada jaman dahulu kala. Sebab, berbeda dengan situs-situs yang lain, tak ada prasasti atau peninggalan berupa artefak di Ciburuy. "Peninggalan yang paling utama adalah puluhan naskah kuno berbentuk manuskrip yang ditulis di daun lontar dan nipah. Naskah-naskah tersebut hampir semuanya belum bisa dibaca," ujar Tien.

Kabuyutan Ciburuy, kata Tien, bisa disebut sebagai pusat kajian dan studi yang menyisakan peninggalan penting dari abad 16. Dari sekira 57 naskah yang ada, baru 3 naskah yang sudah dibaca dan diterjemahkan untuk masyarakat umum. Ketiga naskah tersebut masing-masing Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma. "Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi dunia filologi. Sebab, kami berharap bisa mengungkap satu sejarah yang terkandung dalam naskah-naskah di Kabuyutan Ciburuy ini," imbuh Tien.

Secara topografi, letak Kabuyutan Ciburuy memang sangat ideal sebagai sebuah padepokan. Situs yang saat ini berbentuk replika ini memiliki 6 bagian utama dengan bentuk bangunan panggung yang mirip dengan bangunan-bangunan tradisional di berbagai daerah di Jawa Barat. Keenam bagian tersebut terdiri dari Saung Lisung, Leuit, Patamon, Padaleman, Pangalihan, dan Pangsujudan. Bangunan-bangunan tersebut berada dalam satu areal seluas 600 meter persegi. Pertama kali dibangun ulang sesuai dengan bangunan aslinya pada tahun 1982 berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Patamon sebagai gedung utama di bagian luar berisi barang-barang berupa keris eluk, keris badik, peso (pisau), bedog (golok), selendang rante (selempang terbuat dari rantai), dan cupu keramik. Sedangkan di Padaleman, gedung utama di bagian dalam, tersimpan naskah atau karya tulis di dalam beberapa peti. Antara bagian luar dan bagian dalam dipisahkan oleh semacam benteng yang terbuat dari anyaman bambu (bilik). Seperti dijelaskan Ujang Mulyana (27), kuncen dan juga juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy, situs tersebut merupakan tempat musyawarah yang dibangun pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Menurut dia, tempat ini menjadi tempat pertemuan sekaligus pelatihan ilmu. "Kemungkinan hasil pertemuan dan pelatihan tersebut tertulis seperti yang ada dalam naskah itu," kata Ujang.

Lebih lanjut Ujang menjelaskan, berdasarkan penuturan dari kuncen-kuncen sebelumnya, ada beberapa bagian di Kabuyutan Ciburuy yang tidak bisa dimasuki sembarang orang dan sembarang waktu. Menurut dia, tamu yang datang secara umum hanya bisa diterima di bangunan Patamon (pertemuan). Untuk memasuki bagian lain seperti Padaleman (bagian dalam) dan Pangsujudan (tempat peribadatan), bagi pengunjung umum hanya diperkenankan pada saat pelaksanaan Upacara Seba setiap hari Rabu akhir buan Muharam. "Kecuali ada izin khusus dari kuncen," kata Ujang.

Ujang mengatakan, setiap bagian memang memiliki makna khusus. Pada jaman dulu, katanya, bagian atau tahapan itu merupakan tahap dalam penguasaan ilmu, khususnya ilmu kanuragan. "Setiap naik tahap merupakan kenaikan dalam tingkatan keilmuan," ujar dia.

Secara umum Kabuyutan Ciburuy terbuka untuk kunjungan masyarakat. Menurut Nana, sebagian besar masyarakat yang datang tujuannya meminta dimudahkan usaha. "Itu tujuan utama para pengunjung," imbuh Ujang. Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita, menjelaskan, Kabuyutan Ciburuy termasuk cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor pusat di Serang, Banten. Namun demikian, pemerintah setempat ikut melakukan pemeliharaan secara insidentil. "Anggarannya memang tidak masuk pos yang dialokasikan di Pemkab Garut, namun secara insidentil kami tetap membantu dari sisi pemeliharaan," katanya.

Warjita menegaskan, beda dengan objek wisata lain yang ada di Kabupaten Garut, Kabuyutan Ciburuy hingga saat ini belum menjadi aset yang menghasilkan pendapatan. Sebab, dari sisi retribusi, pemerintah setempat belum mengenakan pungutan apapun bagi pengunjung yang datang ke situs tersebut. "Para pengunjung hanya didaftar sebagai bahan laporan ke dinas. Selain itu, tidak ada pungutan yang dikenakan," kata dia.

Saat ini, di Kabuyutan terdapat dua orang Jupel, dari total 14 Jupel di seluruh Kabupaten Garut. Warjita mengaku peran Jupel ini sangat vital karena menjadi pendata sekaligus pemelihara berbagai situs yang menjadi objek pariwisata. "Meskipun statusnya sebagai pegawai di bawah BP3, namun mereka juga dimintai membuat laporan per triwulan ke dinas setempat," ujar Warjita.

Saat ini, Jupel Kabuyutan Ciburuy berstatus tenaga honorer di BP3. Mereka mendapatkan tunjangan atau honorarium yang dibayar per triwulan. "Setiap 3 bulan kami mendapat honorarium sebesar Rp 1 juta," kata Ujang.***

Mencari Jejak Kerajaan
MESKIPUN secara geografis Kabuyutan Ciburuy berada di wilayah Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong, puluhan naskah kuno yang tersimpan hingga saat ini belum dipastikan peninggalan kerajaan mana. Beberapa naskah yang sudah dibaca dan dialihbahasakan seperti Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma, bernuansa Hindu. Di Jawa Barat, kerajaan Hindu yang ada pada masa abad ke-16 adalah Pajajaran. Sementara itu, berdasarkan tuturan lisan yang tersebar secara turum-temurun di lingkungan masyarakat setempat, unsur Islam sangat kental.

Dijelaskan Dra. Tien Wartini, M.Hum., ahli filologi dari Pusat Studi Sunda, berdasarkan hasil pembacaan terhadap naskah Amanat Galunggung, Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma, diperkirakan naskah-naskah yang berasal dari masa abad ke-16 Masehi itu berasal dari Kabuyutan Ciburuy. Hal tersebut dikatakan dalam naskah Amanat Galunggung. "Naskah tersebut dikatakan berasal dari sebuah tempat yang berada di kaki Gunung Cikuray. Tempat yang sangat mirip dengan deskripsi tersebut adalah daerah Ciburuy," kata Tien.

Tien sendiri mengaku sangat tertarik mendeskripsikan manuskrip-manuskrip yang saat ini masih tersimpan di Padaleman Kabuyutan Ciburuy. Selain untuk kepentingan keilmuan, isi naskah kuno tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat umum sebagai gambaran pola kehidupan masyarakat pada masa itu. "Sayangnya, kami baru bisa mengambil foto beberapa naskah. Itu pun sampai saat ini belum dibaca karena hanya sedikit ahli yang mampu membaca dan menerjemahkan secara lancar naskah-naskah yang berbahasa dan bertuliskan aksara Sunda Kuno. Apalagi ada beberapa di antaranya yang diduga menggunakan tulisan aksara Budha," terang Tien.

Keberadaan naskah-naskah kuno itu sendiri, menurut Tien, sangat memprihatinkan. Manuskrip yang masih belum terungkap itu tersimpan dalam peti dalam kondisi sebagian telah rusak karena termakan usia. "Naskah tersebut tak bisa sembarangan dibuka karena dikeramatkan. Bagi kami, sangat penting untuk menyelamatkan aset tersebut karena isinya, bukan bendanya. Tapi kami pun tak bisa berbuat banyak karena berbenturan dengan masalah tradisi," tandas dia.

Padahal, imbuh Tien, ada hal penting yang perlu diteliti dan digali oleh para ahli filologi, yakni kejelasan jejak kerajaan pada saat itu. Tien berkeyakinan jika naskah-naskah itu bisa dibaca dan diterjemahkan, kemungkinan akan terungkap kerajaan apa yang memiliki jejak di situs tersebut. "Masalahnya, sampai saat ini belum terungkap kerajaan mana yang membangun padepokan yang berfungsi sebagai pusat studi dan dokumentasi tersebut," pungkas Tien.

Keyakinan Tien sejalan dengan pemikiran Hawe Setiawan, siswa pascasarjana FSRD ITB yang saat ini sedang menggarap tesis. Hawe mengaku berkeinginan mengetahui isi naskah yang tersimpan di Kabuyutan Ciburuy dengan harapan bisa memetakan pola kemasyarakatan pada saat itu. Selain terbentur dengan minimnya hasil penerjemahan, informasi yang ada di dalam naskah itu juga sulit dijelaskan karena sulitnya akses untuk membuka naskah tersebut. "Padahal jauh-jauh datang ke tempat ini, saya ingin mengetahui informasi tentang naskah-naskah kuno itu," tutur dia.

Pihak juru pelihara Kabuyutan Ciburuy itu sendiri seakan-akan paham dengan keingintahuan para pengunjung ini. Ujang Mulyana (27), kuncen tempat tersebut, kemudian memberikan izin khusus untuk masuk ke Padaleman, tempat penyimpanan naskah-naskah kuno tersebut. "Padahal, seharusnya hari-hari biasa tidak boleh ada yang masuk ke tempat ini," kata dia.

Selain memberikan ijin khusus masuk ke Padaleman, Ujang pun memberi kesempatan membuka peti yang berisi salah satu naskah terbuat dari daun lontar. Sayangnya, keterbatasan waktu tidak memungkinkan naskah tersebut dibaca secara leluasa. Di samping naskah, di dalam peti juga terdapat perangkat yang berhubungan dengan karya tulis seperti peso pangot, alat untuk menulis pada daun lontar, serta sebuah bingkai kacamata yang terbuat dari batok kelapa.***

Nana Sumpena: "Tukuh Ciburuy"
TIDAK sembarangan pengunjung bisa datang dan memasuki kawasan Kabuyutan Ciburuy. Ada kepercayaan yang dipegang teguh yakni, tukuh (tradisi) yang disebut Tukuh Ciburuy. Salah satu tukuh yang dipegang kuat adalah tidak menerima pengunjung pada hari Selasa dan Jumat. "Pada hari-hari biasa pengunjung bisa datang, kecuali Selasa dan Jumat. Itu pantangan yang menjadi tukuh di tempat ini," terang Nana Sumpena (31), salah seorang juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy.

Nana menjelaskan, tradisi tidak menerima siapapun pada hari Selasa dan Jumat merujuk pada pada jaman dulu bahwa dua hari tersebut sering dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan internal. "Selasa adalah waktu yang dipakai untuk pertemuan (musyawarah), sedangkan Jumat untuk peribadatan (Jumatan)," kata dia.

Selain tukuh pantang menerima pengunjung pada hari Selasa dan Jumat, ada beberapa tukuh lain yang hingga saat ini terus diterapkan di situs yang berada di kaki Gunung Cikuray tersebut. Salah satu tukuh utama yang selalu dilaksanakan adalah membersihkan barang-barang yang tersimpan di tempat tersebut, terutama barang-barang berupa senjata seperti keris, peso, bedog, cupu, seledang, dan sejenisnya. Barang-barang tersebut setahun sekali, setiap Upacara Seba yang jatuh pada hari Rabu terakhir bulan Muharam dalam penanggalan Hijriyah, dikeluarkan untuk dibersihkan.

Barang-barang itu dibersihkan oleh sang kuncen tidak dengan sembarang minyak, melainkan dengan buah kaliki. "Buah tersebut dikeringkan dan di-sangray hingga tutung, kemudian dipakai untuk menggosok barang-barang yang harus dibersihkan setiap tahun," ujar Nana.

Pada setiap perayaan Upacara Seba pula ada tukuh yang dipercaya harus selalu ada, yakni 3 macam penganan khas setempat, berupa ladu, ulen, dan wajit. Meskipun secara umum ketiga jenis penganan tersebut ada di setiap daerah di Jawa Barat, rasa dan cara pengolahannya berbeda. Ladu, ulen, dan wajit tersebut dibuat dari jenis beras ketan asli yang dihasilkan di tempat tersebut. "Ladunya tidak dicampur tepung, sedangkan wajitnya tidak dibungkus," kata Nana.***

Minggu, 19 Agustus 2007

Merdeka Nyata

Tepat jam 12 malam tgl 17-08-2007, saya merasakan atmosfir euforia kemerdekaan bangsa kita, terasa dari mulai acara yang disiarkan semua stasiun televisi hingga sibuknya para panitia dadakan tiap RT yang bingung mencari dana talangan karena dana kumpulan dari warga tidak cukup untuk merealisasikan agenda kegitan yang mereka rancang untuk memberikan hiburan satu hari di hari kemerdekaan bangsa kita ini.

Tak mau ketinggalan para veteran-veteran kembali membuka ingatan sejarah perjuanganya mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan, yang dengan semangatnya menceritakan nilai-nilai patriotisme kepada cucu-cucunya yang ternyata lebih mempercayakan pahlawan bangsa ini pada gadget-gadget canggih yang bisa membawanya menjadi patriot apapun yang dikehendaki.

Di luar panitia dan para veteran, ada sebagian kelompok yang biasa di sebut Sosialis Koboi Kampung (Soskoka) dengan gaya dan cara yang berbeda memperingati hari kemerdekaan bangsanya. Mereka itu lebih nyata dan tidak sekedar memperingati saja, tapi lebih kepada tataran menyatakan kemerdekan individu-individunya masing-masing dan lebih langsung dapat dirasakan ketimbang para panitia dadakan dan para veteran yang hanya mendapat job kemerdekaannya tiap tanggal 17 Agustus saja.

Yang terakhir adalah kelompok Anak Kampung Sini (Akamsi), yakni gerombolan yang mencoba memerdekakan tidak hanya individu atau hanya merdeka lewat cerita. Merdeka bagi mereka adalah merdeka yang berkekuatan dan berkekuasaan karena menurut mereka merdeka adalah berkuasa.

Dengan rasa hormat kepada merdeka-merdeka yang lain, yang kalau saya masukan dalam tulisan ini akan memerdekakan saya kepada merdeka yang sesungguhnya, saya harus bertanya kepada seluruh manusia yang ada di dunia ini karena merdeka tiap individu berbeda.

Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan sebuah catatan kejadian yang saya liat tadi pagi di saat lagu Indonesia Raya dan bendera kita yang merah putih dikibarkan. Saya yang mengangap sebuah sosok yang mempunyai berbagai cara merdeka, ternyata tidak dimerdekakan dengan lagu dan bendera. Padahal salah satu bukti merdeka bangsa ini adalah ketika bendera dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Saya mencoba berbisik kepada para malaikat, terutama malaikat Izrail (pencabut nyawa) yang saya daulat sebagai bapak merdeka semua umat di dunia, tidak hanya individu atau bangsa-bangsa, karena kematian adalah kemerdekaan yang hakiki. Oleh karena itu mari kita serahkan tanggal kemerdekaan kita padanya karena akan sangat rugi kalau merdeka hanya tanggal 17 Agustus saja…



(posting by Adi 'Otonk' Supriadi, Repdem Cianjur)

Jumat, 20 Juli 2007

Babel

Anda bisa katakan, tindakan Tuhan itu sebuah laku divide et impera yang purba, modus si kuasa menghadang lawan yang hendak menandinginya. Tuhan, dalam Kitab Perjanjian Lama

Kita bisa katakan, yang terjadi hanyalah pengukuhan nasib manusia: terserak-serak, tanpa bahasa yang universal, tanpa makna yang dapat diterima jelas kapan saja dan di mana saja.

Kita juga bisa katakan, dari nasib itu bisa datang sebuah kearifan. ”Tiap peradaban dan tiap kebudayaan adalah sebuah Menara Babel,” kata Reinhold Niebuhr pada 1937. Ketika mengemukakan itu, teolog Protestan itu menyebut perlunya sikap rendah hati, juga dalam agama.

Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gundah (uneasiness).

Orang tahu, Tuhan yang disembahnya melampaui takaran ”manusia yang terbatas”. Sementara itu manusia sendiri ”terus-menerus tergoda untuk lupa akan keterbatasan kebudayaan dan peradabannya”, dan mengira mampu menangkap kebenaran yang terpuncak. Di situlah kisah Menara Babel membantah: manusia memang piawai, tapi daif. Kita perlu hidup bersama orang lain dengan (istilah saya) sebuah ”etika kedaifan”.
(dan juga dalam sajak Amir Hamzah), memang disebut ”cemburu”.

Rabu, 18 Juli 2007

Puisi

(Sore, kabut mulai mengepung di sekitar Tangkuban Parahu. Dok/kun.co.ro)

akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa
pada suatu ketika yang sudah lama kita ketahui
apakah kau masih selembut dahulu, memintaku minum susu
dan tidur yang lelap sambil membetulkan letak leher kemejaku

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
lembah mandalawangi, kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat
apakah kau masih akan berkata, kudengar detak jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta

(Ini teks puisi yang diambil dari original soundtrack film Gie, tapi mengingatkan pada kisah romantic crime di sebuah hutan pinus tak jauh dari tepi kawah Tangkuban Parahu, Juni 2007)

Minggu, 15 Juli 2007

Taman Kejahatan






tiba-tiba saja rambut kita menjadi putih semua musim kawin telah lewat, burung meminjamkan sarang pada angin, dan orang-orang menidurkan hatinya di atas tanah ..

1
DAN, seperti yang kusaksikan, ia benar-benar menidurkan mata dan hatinya. Merebahkan tubuhnya di atas hamparan dedaunan. Beralaskan rambutnya yang tipis dan mulai memutih, ia menyembunyikan kecantikannya yang penuh dengan duka.

Sejenak ia meratapi kedukaannya. Luka-luka hati yang tak pernah tersembuhkan, saat satu demi satu yang dicintainya secara perlahan meninggalkannya.

Ia merasa kesepian.

Kemudian, secara perlahan pula, tubuhnya mulai mengelupas.

Kering. Sepertinya selalu ingin kuusap bibir yang belah itu dengan selembar kain lap basah. Sesungging gerak yang tak rata dicobanya. Itulah senyum yang bisa diserahkannya. Namun, sebaris kesakitan berjejer dari garis matanya yang tak pernah diam.

Matahari coklat. Kulit kepala yang ingin mengelupas dengan lembar rambut yang berkibar tipis. Kembali sederet kesakitan seakan-akan mendera saat tubuhnya yang kaku itu mencoba bergerak. Seinci demi seinci, seolah jam yang dibutuhkannya menderak perlahan.

Ia mencoba bergeser mendekatkan tubuhnya padaku. Ada kepedihan yang menjalar tatkala badan yang rapuh itu merapat. Kedip matanya yang halus memintaku memeluknya. Namun, dengan canggung kuulurkan tangan ke arah kepalanya. Untuk kudekap. Lalu ia menyuruk di dadaku.

Ah, inginnya ia menangis. Kenyataannya hanya suara erangan yang keluar dari mulut kering itu. Sedang airmata entah ke mana. Mata itu telah mengering.

Aku paham, gumamku lemah. Aku sangat paham dengan kondisi serupa itu. Sebab, berkali-kali aku menemukan raganya tak berdaya seperti itu.

Kemarin, pemilik bibir belah yang kering dengan rambut tipis itu masih riang menari-nari di depanku.

Aku ingin bermain, katanya penuh semangat.

Kuiyakan saja. Tak pernah kukatakan tidak padanya, meskipun aku belum menjadwal waktu untuknya. Sebab, ia tidak akan siap dengan kata penolakan. Harus selalu iya. Sebab, satu-satunya alasan kenapa kulakukan seperti itu, adalah perasaan berdosa.

Aku ingin bermain, katanya.

Ia selalu bermain-main denganku karena tidak memiliki teman selain aku. Tentu saja ada seseorang yang sering diajaknya bermain. Dan, itu pula yang mencegahku untuk mengatakan tidak padanya.

Meskipun, dalam kalkulasi peluang yang teramat jarang, aku dengan sangat terpaksa, kadang-kadang tidak ada untuknya ketika ia ingin bermain. Dan, kerapuhan yang terjebak di raga wadagnya itu yang selalu menyongsongku setiap bertemu kembali.

Dan, kemarin itu, ketika kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa bermain dengannya, kenyataannya aku memang benar-benar tak bisa. Aku tidak bisa. Sebab, pada saat itu, aku diharuskan tak ada untuknya.

Lalu, seperti biasa jika aku tak ada, ia menghampiri seseorang itu untuk diajaknya bermain. Seseorang yang datang dari dunia imajinatif. Seseorang yang akan membawanya berkelana menjelajahi ruang-ruang yang sangat sublim tapi rapuh. Seseorang yang kukenal sebagai bayang-bayang.

Aku selalu merasa berdosa jika menemukan dia seperti itu.

Pasti, setelah itu, aku akan menemukan sosoknya telah begitu kering. Seakan-akan semua spirit yang ada dalam dirinya dalam sekejap tersedot. Sukma yang mengembara itu lepas dari raga dengan kerontang, meskipun tak sepenuhnya meninggalkannya, karena masih terikat oleh janji dan waktu.

Sangat lama hingga aku bisa mengembalikan sosoknya pada semula. Dengan segala keriangannya.

Mula-mula, ketika aku bertemu dengannya, di suatu siang yang sunyi. Namun, kesunyian yang hanya dimiliki kami berdua. Kami menyebutnya siang yang penuh keajaiban.

Namaku Princess, katanya.

Riang. Seperti puteri.

Senyum dengan mata yang tertutup samar. Dan, aku selalu menyukainya setiap kali ia tersenyum. Ia jarang tertawa. Sebab, kataku, jika ia tertawa, maka ia akan tertidur dengan mata yang terpejam lama.

Kami sedang bermain ketika tiba-tiba tubuhnya yang mestinya jatuh terkena terjanganku itu malah mengambang ke udara seolah ditopang oleh tangan-tangan tak kasat mata.

"Hei! Kau curang!" Aku berteriak.

Dengan jemari kurusnya ia menangkap kehampaan di bawahnya lalu menyeringai senang oleh penemuannya yang mungkin membahagiakannya itu. "Tangkap aku! Hei! Kau yang di bawah! Tangkap aku!"

Kujejak tanah dengan mengkal dan kupertunjukkan padanya jemariku yang terkepal. Ohhh. Ini sama sekali tak lucu!

Dia tertawa dan mulai bernyanyi meledekku: "Kau semakin pendek! Semakin pendek! Tralala! Ow!"

"Brengsek!" Kurahup segenggam tanah dan melemparnya.

"Kau semakin pendek! Semakin pendek, ahoi!"

"Kembali kau, bangsat!" Aku kembali berteriak.

"Tangkap akuuuuuuu!"

Bayangan tubuhnya di tanah semakin mengerdil saja. Aku menengadah dan tersilaukan oleh mega yang merah. Dia tak lagi meraba-raba udara di bawahnya. Dia menjulurkan tangannya ke langit dan semakin tinggi terangkat dariku.

"Ibumu nanti marah! Hei! Turun!"

Dia melambai dan balas berseru. Tapi kata-katanya lepas tak terdengar telingaku.

"Kembalilah! Aku takkan menerjangmu lagi!" Aku berseru panik tatkala sebuah kenyataan yang pahit seakan-akan terbentang luas di hadapan dan mencemaskanku. Tapi kian lama tubuhnya kian menitik jua. "Aku berjanjiiii!"

Lalu titik itu hilang.

Lapangan rumput dan hutan kecil Argasoka itu terlalu kecil dan sunyi untukku bermain sendiri. "Kembalilah."

Doaku tulus sambil menatap langit yang berhasil menangkapnya sementara aku tidak.

Apakah dia benar-benar memintaku untuk menangkapnya tadi? Ataukah dia masih meledekku pendek dalam seringainya? Apakah lalu dia meronta-ronta minta turun? Apakah dia kemudian terdampar di suatu tempat?

Aku pun mulai bertanya-tanya. Apakah kebersamaannya dengan seseorang itu telah membuatnya mengambang di udara? Disucikan dari tanah yang mulai kotor dan beracun itu? Inilah ketakutanku selama ini. Ia selalu bermain dengan seseorang yang kukenal sebagai bayang-bayang. Seseorang yang begitu disayang dan dipeluk bumi sehingga bumi pun tak berani untuk mengotorinya. Sehingga ia tak pernah menapak dalam jejak. Ia melayang-layang di atasnya.

Sebab itulah kunamakan bayang-bayang. Wujud yang tak berbentuk, tapi menyerupai setiap kawan yang diajaknya bermain. Ibarat cermin. Atau mimesis. Dan, kawan saat ini adalah perempuan kecil yang mengaku bernama Princess itu.

"Aku harus punya kawan selain dirimu," katanya suatu ketika. "Sebab aku tak ingin selalu bergantung padamu. Dan, aku sekarang sudah memilikinya."

Aku hanya menyangka bahwa kawan yang dimaksudnya adalah sebutan untuk dunia imajinatif yang diciptakannya. Tak, seorang. Tapi sekumpulan kawan untuk menemaninya. Sebab, ia selalu mengaku tak tahan oleh kesepian.

Ternyata seseorang itu memang ada, meskipun hanya berupa bayang-bayang. Seseorang itu nyata meskipun datang dari dunia imajinatif.

Suatu ketika aku pernah meminjam seseorang itu.

"Tapi jangan lama-lama. Cepat kembalikan karena aku tak punya siapa-siapa lagi," pintanya, sungguh-sungguh.

Aku pun lantas berkelana menuju dunia bayang-bayang.

Seperti mimpi yang melenakan. Aku mendatangi seseorang itu pada sebuah siang yang gerah. Matahari mengerahkan sinarnya dengan sepenuh hati. Memanggang setiap benda dengan sorot matanya. Seakan-akan ingin menghanguskan segala benda yang ada di bumi ini.

Seketika tubuhku terasa gosong.


2
AKU bisa melihatnya di mana-mana. Dia bisa diam seperti daun dalam genangan air, sesekali bergoyang tenang dan perlahan. Dia bisa resah seperti kutu mabuk, hilir-mudik menyeruduki kepalamu, menggayutgatali rambut. Dia bisa meletus seperti Tahun Baru namun juga bisa semenakutkan kuburan yang menganga, sesabar batu dan segalak halilintar.

Dia menjamur dalam kelopak mataku.

Jangan tertawa. Mungkin bagimu aku tolol karena kau tentu pernah jatuh cinta pula. Dan cintamu tak sesederhana ini.

Untuk apa mencintai perempuan yang bukan lagi rahasia?

Perempuan seharusnya seperti jigsaw puzzle, katamu. Penuh teka-teki sekaligus kejutan. Lelaki butuh gambar utuh. Namun, yang paling penting adalah menemukannya sebelum utuh. Lalu menyusunnya sambil secara pelan-pelan mencintainya.

Jadilah kamu puzzle, Princess. Dan biarkan aku menemukan secara utuh dari bagian-bagian dirimu sebelum utuh.

Bagimu mungkin tak ada asyiknya punya gambar utuh. Untuk apa?

"Aku tak suka mencintai, meskipun aku cinta padamu. Maksudku, kenapa harus mencintai? Itu hal paling konyol yang pernah dilakukan manusia. Seperti menimba air, kalau kau ngerti. Aku akan capek. Dan air akan habis. Suatu hari, aku akan mendingin dan menua dan mencintai akan mengeringkanku lebih cepat, seperti timba itu. Aku tak suka dikecipaki ember, apalagi yang butut. Aku ogah energiku habis untuk hal yang sudah kuketahui ending-nya. Jadi begitulah. Maaf. Ah. Ngapain minta maaf? Kau harus ngerti. Aku tak suka mencintai. Itu saja."

"Kamu ... lucu."

"Oh ya?" Dia menggaruk lehernya. "Yah. Mending lucu daripada nggak, kan?"

"Kau menolakku."

"Hei, hei, hei! Jangan salah sangka. Aku menolak diriku sendiri. Kau baca bibirku, aku cinta padamu. Banget. Seperti nyamuk aku cinta padamu, menenggelamkan sungutku pada kulitmu hingga kau tepuk aku mati pun, akan kupatahkan sungutku agar a part of me tetap tertancap padamu. Segila itulah."

"Itu bukan gila, sayang. Itu putus asa."

"Oalah, jangan main kata-kata. Apa beda gila dan putus asa? Meski tentu saja, orang gila cenderung lebih bahagia. Mereka bisa menyembunyikan keputusasaan mereka dengan makan taik."

"Hohoho! Itu sarkastik!"

"Hmmmm."

"Kau takut, kan?"

"Hell yea. Tepatnya, aku pengecut."

"Kau pendusta pula."

"Dusta?"

"Kau mendustai dirimu sendiri. Semua orang ingin memiliki apa yang mereka cintai. Kau bukan santa dan lain sebagainya. Jika benar mencintaiku, maka otomatis kau ingin memilikiku. Tapi kau mendustai dirimu sendiri. Kau menolak gairah untuk itu."

"Ah," dia meludah. "Semua perempuan adalah pendusta. Lagipula, aku hanya mendustai diriku sendiri, dan aku tak marah karenanya, karena aku tahu sisi jujurnya. Aku tak harus menerka-nerka mengapa aku mendustai diriku sendiri atau macam dusta apa yang kusembunyikan. Tapi aku cinta padamu dan itu jujur. Ah, mengapa kau begitu sulit diyakinkan? Lihat? Belum apa-apa aku sudah hampir mati bosan meyakinkan cintaku padamu. Kau seperti timba itu, bermain-main di permukaanku."

"Karena aku tak mengerti, Princess."

"Jangan menghinaku seakan-akan aku misterius. Kau bodoh, itu saja."

Tapi malam itu, aku menggapai-gapai ketika hanya kutemukan jejaknya di kamar ini. Ransel biru. Sepatu putih. Tiga apel hijau yang mulai renta. Tiga? Kenapa bukan dua?

Tapi dia entah di mana.

Aku mulai merasakan kepudaran dirinya.

"Don't leave me alone," keluhnya.

Dia bilang tak mau ditinggalkan. Dan, aku sekali pernah meninggalkannya. Dia pun mengaku tidak bisa sendirian. "Sebab aku takut kesepian," katanya.

Esoknya, dia datang dengan tiga batang bunga rawa. Lagi-lagi tiga? Bukan dua?

Tak ada yang salah ketika kuletakkan seuntai rosario mengelilingi tiga apel yang menua itu. Satu untukku. Satu untuknya. Dan, satu lagi, entah untuk siapa.

"Untuk pengganti buah khuldi yang dicuri Adam dari sorga," katanya.

"Lalu bunga rawa itu untuk siapa?" tanyaku.

"Bukan untuk siapa, tapi untuk apa. Untuk pengganti waktu yang telah hilang. Sebab itu, kini biarkan aku menjauh darimu untuk waktu yang tak tergantikan itu."

Seketika itu aku terjatuh dalam tidur yang mahaluas.

Seperti ketika dia melepaskan perasaannya laksana halilintar yang menyambar-nyambar. Membuat orang-orang di sekelilingnya membelalak dan ketakutan. Lalu, aku yang berada di dekatnya tak menemukan apa-apa selain seringai tanpa dosa.

"Gue sudah mulai mencintaimu, tauk!"

Begitu tanpa dosa, kata-kata itu.

Seperti halilintar, bagi yang lain.

"Ahhh. Emang cuma segitu, kok."

"Sekarang kita bisa jadian, kan?"

Matanya menyalak seperti lampu halogen di kepekatan dinihari tanpa bintang dan fajar. Tapi begitu redup saat tatapannya luruh pada sepatu dan rerumputan.

"Gue cuma pengen asal lu tau aja!"

Dia pun berlalu sambil tetap merunduk, meninggalkan bayangan punggungnya yang melengkung. Tak ada kekecewaan yang dibawanya menjauh. Langkahnya yang cepat menarikan gerakan tap. Kian lama semakin cepat. Seperti kijang melompat-lompat.
Hanya rona-rona yang begitu kekanakan saat dia menoleh dengan sipu.

Dia memang kanak-kanak itu.


3
"TERNYATA idup itu nggak gampang, tak cuma untuk dipikirin. Pokoknya gue cinta. Titik. Tanpa koma!"

Emoticon itu bergerak-gerak. Princess.

"Wakakaka ... idup emang bukan buat dipikirin, tapi dilakonin. Gue juga cinta. Tanpa tanda baca!"

Typing message. Dia tampak sedang menuliskan sesuatu. Tapi, lama tak ada apa-apa di layar monitor itu. Dan, aku pun lama memelototinya.

"Lu salah sent ya?" tanyaku.

Dia masih terdiam.

Aku mulai bosan menunggu. Lalu kembali klik sana, klik sini, mencari-cari sesuatu tanpa peduli.

"Gue gak salah sambung kok. Titik." Akhirnya kata-kata itu muncul juga.

"Tapi sejak kapan lu serius gitu?" kataku.

"Gue emang serius ... kali ini, xixixi."

"Ketawanya gak usah ditulis. Garing tauk!"

"Biarin. EGP!"

"Tapi emang garing."

"Garing kek, basah kuyup kek, emang situ oke."

Huh!

"Eh, ketemuan yuk!" tulisnya kemudian.

"Kapan?"

"Kapan ya?"

"Kok malah nanya lagi."

"Besok gimana?"

"Boleh. Itu pun kalo gue belum mati."

"Yeah! Kalo situ mati besok, gue bikinin acara deh buat in memoriam."

"Jangan lupa pake testimonial yang bagus buat gue ya!"

"Wakakaka ... !"

"Eh, gue bilang ketawanya jangan ditulis. Jayus amat sih lu!"

"Kok marah seh?"

"Siapa yang marah? Gue bilang garing, bukan marah."

"Auk ah!"

Princess sign out. Tapi aku tahu dia belum offline, hanya invisible.

"Sori. Kok malah situ yang ngambek seh?"

Tidak ada jawaban.

"Ya wis. Pokoknya gue (masih) cinta," tulisku.

"Gue juga."

Akhirnya.

Aku tersenyum.


4
TAPI saat ini aku bergeming. Jadi, di sinilah, di taman ini, ia selalu menyerahkan sukmanya kepada seseorang bernama bayang-bayang itu. Taman yang penuh dengan rerumputan serta sebuah hutan kecil. Lalu, menanggalkan tubuhnya melorot menjadi sekeping daun kering yang luruh di atas tanah.

"Gue tak pernah merasa selepas ini," kataku.

Bayang-bayang itu berubah menjadi kilau.

Lalu dimulailah permainan yang penuh rahasia itu. Seperti aji Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu yang bermain-main di dalam kepala kami. Bayang-bayang itu, dalam diamnya, begitu fasih mengurai makna sajatining cinta seperti Wisrawa yang dengan pongah membuka tabir kehidupan yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Dan, kami melayang-layang. Hey, aku mengambang di udara. Aku bisa terbang! Aku bisa terbang!

"Gue tak pernah merasa selepas ini!" teriakku.

Bayang-bayang itu tersenyum. Lalu tertawa. Memperlihatkan taringnya yang panjang dan tajam.

Di taman itu, kami bermain-main dengan kata-kata. Bayang-bayang itu terus menguraikan makna hidup secara sistematis dan aritmatis. Membawaku menapaki beragam molekul yang menempel dalam tubuh kasar kami. Sementara aku terus tertawa-tawa sambil bertahan untuk tidak terbawa ke dalam kata-katanya yang ibarat sihir membiusi setiap benda yang ada di taman itu, termasuk aku.

Benda-benda di taman itu seakan-akan tunduk pada kata-katanya. Semua berbaur seperti pasangan-pasangan yang intim tanpa membedakan bentuk. Rerumputan dengan pohon cemara saling bertautan pucuk-pucuknya. Lalu ilalang saling membelitkan tubuh bersama pohon apel. Buah berry dengan beringin.

Aku tertawa-tawa menghindar dari belitan lidah bayang-bayang itu yang menjalar-jalar seperti tumbuhan sulur. Mencoba membelit sukmaku yang melayang-layang.

Dalam sadarku yang mulai meremang. Aku melihat kilasan tubuh Princess yang terbelit oleh bayang-bayang itu. Tersedot ke dalam kekuatan kata-kata laksana Sukesih yang terpukau kata-kata Wisrawa di taman Argasoka ini. Dan, di sanalah mereka merentangkan tangan. Di taman yang dilalui pada suatu musim, ketika pohon-pohon muda mulai bernyanyi.

Begitu banyak udara untuk dihirup, melayang-layang disangga pepohonan yang hidup, berputar di antara ranting-ranting, jatuh ke tanah lalu membal menjadi angin.

Sedikit debu.

Aku merasa sedang berdoa, keluhmu seraya berputar perlahan. Rambutmu tersapu matahari menjadi kuning.

Tapi tanganmu tak terjalin, jawabku. Kau lebih nampak seperti seorang penari. Berputar-putar mencari jejak kakimu sendiri.

Apalah bedanya. Penari pun berdoa, keluhmu riang.

Sama seperti diriku, mereka mulai melayang-layang, setelah menyadari bahkan alunan musik paling merdu pun terdengar bagai lenguh keledai penarik beban yang sekarat di telinga. Dari balik pepohonan yang terasa bagai telah mereka tinggali selamanya, aku bisa melihat labirin berpucuk bunga dengan hamparan kerikil terakota.

Tapi, mereka terlihat seperti bosan dan tak lagi menginginkannya. Bahkan untuk mencecap kue-kue berbentuk dadu yang jika kau mengigitnya, sebuah sungai selai mabuk yang membuat syarafmu tergetar, sanggup merampas segala ketidakbahagiaan.

Aku pun tak menginginkannya. Seluruh indera telah dihanguskan kelaparan mahadahsyat, terhauskan ketidakpastian hingga menggelepar-gelepar seakan-akan merasai demam berkepanjangan.

Akan pergikah kita kali ini? keluhmu seraya menggapaikan tangan, menekan dinding-dinding udara sekan mengukur kekuatannya.

Bahkan rasa-rasanya aku bisa meresap ke balik udara ini, tersekap dan hidup bahagia di dalamnya.

Lihatlah titik hitam kecil di taman ini, ucapku sambil mendekatkan mukamu pada tubuh-tubuh mereka yang terlihat bahagia.

Benarkah mereka bahagia?

Mereka tidak gelisah!

Mereka diam tak bergerak!

Dengan tangan yang lemah aku kembali menuju perjalanan. Masih tetap menunjukkan doa. Di taman yang dilalui pada suatu musim, ketika pohon-pohon muda mulai bernyanyi.

Aku tersadar dengan tubuh yang lemah, terkapar di taman dengan rerimbunan pohon. Tapi aku tidak kehilangan sukmaku.

"Gue tak pernah merasa selepas ini!" keluhku.


5
TIBA-TIBA taman itu menjadi buram. Dia tersimpuh pada tunggul-tunggul yang gosong. Taman itu telah berubah menjadi puing. Dan, setiap puing adalah sebuah kuburan yang menyisakan kenangan.

Dalam keheningan simpuhnya, kuamati pepohonan di sekitarnya yang tanpa daun. Lalu, seperti medan laga yang baru ditinggal kekalahan, segala yang tersisa ibarat raga yang ditinggalkan sukma. Sukma-sukma yang meninggalkan raga di taman itu melayang-layang membentuk segerombolan awan sambil tak henti menitikkan tangis. Maka, seperti palagan Bharatayuda yang basah oleh hujan, yang menyisa hanyalah onggokan kekalahan dari seratus raga para Kurawa yang mati sia-sia.

Kusaksikan pula, dia yang menyebut dirinya Princess itu, menengadahkan wajahnya ke langit. Laksana Dewi Gandhari yang meratapi kekalahan anak-anaknya di medan Kurusetra, saat untuk kali kedua tutup matanya terbuka.

"Sia-sia semua kesetiaanku, o para dewa," isaknya.

Ia seperti yang sedang menghujat. Tatapan matanya seperti sebuah tamparan atas rasa sakit yang tak terkirakan. Ia menatapku penuh dengan dendam yang mulai memudar. Dendam terhadap rasa cinta yang pahit.

Aku tahu mata itu penuh dengan tuduhan.

"Aku telah memenuhi janji untuk tetap setia," keluhnya.

"Setia saja tidak akan pernah cukup, Princess," kataku lemah.

"Memang tidak akan pernah cukup untuk sebuah pengabdian."

"Sebab, satu kali kau tidak pernah setia. Sesaat, ketika kau masih membukakan mata untuk segala-galanya. Sesaat, sebelum kau memutuskan untuk menutup segala penglihatan demi sebuah kesetiaan itu."

Ia tercenung. Bulu-bulu matanya luruh menaungi cahaya matanya yang garang.

"Tapi aku telah menebus kesalahan itu dengan kesetiaan yang tulus untuk mencintai tanpa henti. Aku mencinta lebih dari yang kau tahu," katanya. Namun, ada setitik keraguan dalam kata-kata itu.

"Cintamu sudah tak utuh, Puteri. Cinta yang hanya menjadi pelampiasan atas wujud yang tak pernah kesampaian. Sebab, kesetiaan yang kautawarkan itu didasari oleh kekecewaan atas roman yang tak pernah maujud. Maka, jangan kausertakan hatimu yang kasar itu menjadi dalih bagi kesetiaanmu. Sebab, kesetiaanmu tidaklah sia-sia. Buktinya, kesetiaan itu telah menjadi kesaktian yang bisa menggosongkan seluruh benda-benda yang kautatap ketika penutup matamu terbuka."

"Apakah aku salah?"

"Tidak ada yang salah, Dewi."

"Apakah waktu yang salah?"

"Bukan salah, tapi kurang tepat."

"Apakah Tuhan yang salah?"

"Tuhan tidak pernah salah, tapi hambanyalah yang alpa."

Lalu, setelah puas menangisi kekalahannya, untuk kali kedua pula, ditutupnya mata dan penglihatanya untuk selama-lamanya. Lalu, ia pun merebahkan diri di antara puing-puing taman itu.

Dan, seperti yang kusaksikan, ia benar-benar menidurkan mata dan hatinya. Merebahkan tubuhnya di atas hamparan dedaunan. Beralaskan rambutnya yang tipis dan mulai memutih, ia menyembunyikan kecantikannya yang penuh dengan duka.

Sejenak ia meratapi kedukaannya. Luka-luka hati yang tak pernah tersembuhkan, saat satu demi satu yang dicintainya secara perlahan meninggalkannya.

Kali ini, ia merasa tak kesepian lagi.***



Bumi Manusia, 2007