Jumat, 20 Juli 2007

Babel

Anda bisa katakan, tindakan Tuhan itu sebuah laku divide et impera yang purba, modus si kuasa menghadang lawan yang hendak menandinginya. Tuhan, dalam Kitab Perjanjian Lama

Kita bisa katakan, yang terjadi hanyalah pengukuhan nasib manusia: terserak-serak, tanpa bahasa yang universal, tanpa makna yang dapat diterima jelas kapan saja dan di mana saja.

Kita juga bisa katakan, dari nasib itu bisa datang sebuah kearifan. ”Tiap peradaban dan tiap kebudayaan adalah sebuah Menara Babel,” kata Reinhold Niebuhr pada 1937. Ketika mengemukakan itu, teolog Protestan itu menyebut perlunya sikap rendah hati, juga dalam agama.

Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gundah (uneasiness).

Orang tahu, Tuhan yang disembahnya melampaui takaran ”manusia yang terbatas”. Sementara itu manusia sendiri ”terus-menerus tergoda untuk lupa akan keterbatasan kebudayaan dan peradabannya”, dan mengira mampu menangkap kebenaran yang terpuncak. Di situlah kisah Menara Babel membantah: manusia memang piawai, tapi daif. Kita perlu hidup bersama orang lain dengan (istilah saya) sebuah ”etika kedaifan”.
(dan juga dalam sajak Amir Hamzah), memang disebut ”cemburu”.

Rabu, 18 Juli 2007

Puisi

(Sore, kabut mulai mengepung di sekitar Tangkuban Parahu. Dok/kun.co.ro)

akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa
pada suatu ketika yang sudah lama kita ketahui
apakah kau masih selembut dahulu, memintaku minum susu
dan tidur yang lelap sambil membetulkan letak leher kemejaku

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
lembah mandalawangi, kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat
apakah kau masih akan berkata, kudengar detak jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta

(Ini teks puisi yang diambil dari original soundtrack film Gie, tapi mengingatkan pada kisah romantic crime di sebuah hutan pinus tak jauh dari tepi kawah Tangkuban Parahu, Juni 2007)

Minggu, 15 Juli 2007

Taman Kejahatan






tiba-tiba saja rambut kita menjadi putih semua musim kawin telah lewat, burung meminjamkan sarang pada angin, dan orang-orang menidurkan hatinya di atas tanah ..

1
DAN, seperti yang kusaksikan, ia benar-benar menidurkan mata dan hatinya. Merebahkan tubuhnya di atas hamparan dedaunan. Beralaskan rambutnya yang tipis dan mulai memutih, ia menyembunyikan kecantikannya yang penuh dengan duka.

Sejenak ia meratapi kedukaannya. Luka-luka hati yang tak pernah tersembuhkan, saat satu demi satu yang dicintainya secara perlahan meninggalkannya.

Ia merasa kesepian.

Kemudian, secara perlahan pula, tubuhnya mulai mengelupas.

Kering. Sepertinya selalu ingin kuusap bibir yang belah itu dengan selembar kain lap basah. Sesungging gerak yang tak rata dicobanya. Itulah senyum yang bisa diserahkannya. Namun, sebaris kesakitan berjejer dari garis matanya yang tak pernah diam.

Matahari coklat. Kulit kepala yang ingin mengelupas dengan lembar rambut yang berkibar tipis. Kembali sederet kesakitan seakan-akan mendera saat tubuhnya yang kaku itu mencoba bergerak. Seinci demi seinci, seolah jam yang dibutuhkannya menderak perlahan.

Ia mencoba bergeser mendekatkan tubuhnya padaku. Ada kepedihan yang menjalar tatkala badan yang rapuh itu merapat. Kedip matanya yang halus memintaku memeluknya. Namun, dengan canggung kuulurkan tangan ke arah kepalanya. Untuk kudekap. Lalu ia menyuruk di dadaku.

Ah, inginnya ia menangis. Kenyataannya hanya suara erangan yang keluar dari mulut kering itu. Sedang airmata entah ke mana. Mata itu telah mengering.

Aku paham, gumamku lemah. Aku sangat paham dengan kondisi serupa itu. Sebab, berkali-kali aku menemukan raganya tak berdaya seperti itu.

Kemarin, pemilik bibir belah yang kering dengan rambut tipis itu masih riang menari-nari di depanku.

Aku ingin bermain, katanya penuh semangat.

Kuiyakan saja. Tak pernah kukatakan tidak padanya, meskipun aku belum menjadwal waktu untuknya. Sebab, ia tidak akan siap dengan kata penolakan. Harus selalu iya. Sebab, satu-satunya alasan kenapa kulakukan seperti itu, adalah perasaan berdosa.

Aku ingin bermain, katanya.

Ia selalu bermain-main denganku karena tidak memiliki teman selain aku. Tentu saja ada seseorang yang sering diajaknya bermain. Dan, itu pula yang mencegahku untuk mengatakan tidak padanya.

Meskipun, dalam kalkulasi peluang yang teramat jarang, aku dengan sangat terpaksa, kadang-kadang tidak ada untuknya ketika ia ingin bermain. Dan, kerapuhan yang terjebak di raga wadagnya itu yang selalu menyongsongku setiap bertemu kembali.

Dan, kemarin itu, ketika kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa bermain dengannya, kenyataannya aku memang benar-benar tak bisa. Aku tidak bisa. Sebab, pada saat itu, aku diharuskan tak ada untuknya.

Lalu, seperti biasa jika aku tak ada, ia menghampiri seseorang itu untuk diajaknya bermain. Seseorang yang datang dari dunia imajinatif. Seseorang yang akan membawanya berkelana menjelajahi ruang-ruang yang sangat sublim tapi rapuh. Seseorang yang kukenal sebagai bayang-bayang.

Aku selalu merasa berdosa jika menemukan dia seperti itu.

Pasti, setelah itu, aku akan menemukan sosoknya telah begitu kering. Seakan-akan semua spirit yang ada dalam dirinya dalam sekejap tersedot. Sukma yang mengembara itu lepas dari raga dengan kerontang, meskipun tak sepenuhnya meninggalkannya, karena masih terikat oleh janji dan waktu.

Sangat lama hingga aku bisa mengembalikan sosoknya pada semula. Dengan segala keriangannya.

Mula-mula, ketika aku bertemu dengannya, di suatu siang yang sunyi. Namun, kesunyian yang hanya dimiliki kami berdua. Kami menyebutnya siang yang penuh keajaiban.

Namaku Princess, katanya.

Riang. Seperti puteri.

Senyum dengan mata yang tertutup samar. Dan, aku selalu menyukainya setiap kali ia tersenyum. Ia jarang tertawa. Sebab, kataku, jika ia tertawa, maka ia akan tertidur dengan mata yang terpejam lama.

Kami sedang bermain ketika tiba-tiba tubuhnya yang mestinya jatuh terkena terjanganku itu malah mengambang ke udara seolah ditopang oleh tangan-tangan tak kasat mata.

"Hei! Kau curang!" Aku berteriak.

Dengan jemari kurusnya ia menangkap kehampaan di bawahnya lalu menyeringai senang oleh penemuannya yang mungkin membahagiakannya itu. "Tangkap aku! Hei! Kau yang di bawah! Tangkap aku!"

Kujejak tanah dengan mengkal dan kupertunjukkan padanya jemariku yang terkepal. Ohhh. Ini sama sekali tak lucu!

Dia tertawa dan mulai bernyanyi meledekku: "Kau semakin pendek! Semakin pendek! Tralala! Ow!"

"Brengsek!" Kurahup segenggam tanah dan melemparnya.

"Kau semakin pendek! Semakin pendek, ahoi!"

"Kembali kau, bangsat!" Aku kembali berteriak.

"Tangkap akuuuuuuu!"

Bayangan tubuhnya di tanah semakin mengerdil saja. Aku menengadah dan tersilaukan oleh mega yang merah. Dia tak lagi meraba-raba udara di bawahnya. Dia menjulurkan tangannya ke langit dan semakin tinggi terangkat dariku.

"Ibumu nanti marah! Hei! Turun!"

Dia melambai dan balas berseru. Tapi kata-katanya lepas tak terdengar telingaku.

"Kembalilah! Aku takkan menerjangmu lagi!" Aku berseru panik tatkala sebuah kenyataan yang pahit seakan-akan terbentang luas di hadapan dan mencemaskanku. Tapi kian lama tubuhnya kian menitik jua. "Aku berjanjiiii!"

Lalu titik itu hilang.

Lapangan rumput dan hutan kecil Argasoka itu terlalu kecil dan sunyi untukku bermain sendiri. "Kembalilah."

Doaku tulus sambil menatap langit yang berhasil menangkapnya sementara aku tidak.

Apakah dia benar-benar memintaku untuk menangkapnya tadi? Ataukah dia masih meledekku pendek dalam seringainya? Apakah lalu dia meronta-ronta minta turun? Apakah dia kemudian terdampar di suatu tempat?

Aku pun mulai bertanya-tanya. Apakah kebersamaannya dengan seseorang itu telah membuatnya mengambang di udara? Disucikan dari tanah yang mulai kotor dan beracun itu? Inilah ketakutanku selama ini. Ia selalu bermain dengan seseorang yang kukenal sebagai bayang-bayang. Seseorang yang begitu disayang dan dipeluk bumi sehingga bumi pun tak berani untuk mengotorinya. Sehingga ia tak pernah menapak dalam jejak. Ia melayang-layang di atasnya.

Sebab itulah kunamakan bayang-bayang. Wujud yang tak berbentuk, tapi menyerupai setiap kawan yang diajaknya bermain. Ibarat cermin. Atau mimesis. Dan, kawan saat ini adalah perempuan kecil yang mengaku bernama Princess itu.

"Aku harus punya kawan selain dirimu," katanya suatu ketika. "Sebab aku tak ingin selalu bergantung padamu. Dan, aku sekarang sudah memilikinya."

Aku hanya menyangka bahwa kawan yang dimaksudnya adalah sebutan untuk dunia imajinatif yang diciptakannya. Tak, seorang. Tapi sekumpulan kawan untuk menemaninya. Sebab, ia selalu mengaku tak tahan oleh kesepian.

Ternyata seseorang itu memang ada, meskipun hanya berupa bayang-bayang. Seseorang itu nyata meskipun datang dari dunia imajinatif.

Suatu ketika aku pernah meminjam seseorang itu.

"Tapi jangan lama-lama. Cepat kembalikan karena aku tak punya siapa-siapa lagi," pintanya, sungguh-sungguh.

Aku pun lantas berkelana menuju dunia bayang-bayang.

Seperti mimpi yang melenakan. Aku mendatangi seseorang itu pada sebuah siang yang gerah. Matahari mengerahkan sinarnya dengan sepenuh hati. Memanggang setiap benda dengan sorot matanya. Seakan-akan ingin menghanguskan segala benda yang ada di bumi ini.

Seketika tubuhku terasa gosong.


2
AKU bisa melihatnya di mana-mana. Dia bisa diam seperti daun dalam genangan air, sesekali bergoyang tenang dan perlahan. Dia bisa resah seperti kutu mabuk, hilir-mudik menyeruduki kepalamu, menggayutgatali rambut. Dia bisa meletus seperti Tahun Baru namun juga bisa semenakutkan kuburan yang menganga, sesabar batu dan segalak halilintar.

Dia menjamur dalam kelopak mataku.

Jangan tertawa. Mungkin bagimu aku tolol karena kau tentu pernah jatuh cinta pula. Dan cintamu tak sesederhana ini.

Untuk apa mencintai perempuan yang bukan lagi rahasia?

Perempuan seharusnya seperti jigsaw puzzle, katamu. Penuh teka-teki sekaligus kejutan. Lelaki butuh gambar utuh. Namun, yang paling penting adalah menemukannya sebelum utuh. Lalu menyusunnya sambil secara pelan-pelan mencintainya.

Jadilah kamu puzzle, Princess. Dan biarkan aku menemukan secara utuh dari bagian-bagian dirimu sebelum utuh.

Bagimu mungkin tak ada asyiknya punya gambar utuh. Untuk apa?

"Aku tak suka mencintai, meskipun aku cinta padamu. Maksudku, kenapa harus mencintai? Itu hal paling konyol yang pernah dilakukan manusia. Seperti menimba air, kalau kau ngerti. Aku akan capek. Dan air akan habis. Suatu hari, aku akan mendingin dan menua dan mencintai akan mengeringkanku lebih cepat, seperti timba itu. Aku tak suka dikecipaki ember, apalagi yang butut. Aku ogah energiku habis untuk hal yang sudah kuketahui ending-nya. Jadi begitulah. Maaf. Ah. Ngapain minta maaf? Kau harus ngerti. Aku tak suka mencintai. Itu saja."

"Kamu ... lucu."

"Oh ya?" Dia menggaruk lehernya. "Yah. Mending lucu daripada nggak, kan?"

"Kau menolakku."

"Hei, hei, hei! Jangan salah sangka. Aku menolak diriku sendiri. Kau baca bibirku, aku cinta padamu. Banget. Seperti nyamuk aku cinta padamu, menenggelamkan sungutku pada kulitmu hingga kau tepuk aku mati pun, akan kupatahkan sungutku agar a part of me tetap tertancap padamu. Segila itulah."

"Itu bukan gila, sayang. Itu putus asa."

"Oalah, jangan main kata-kata. Apa beda gila dan putus asa? Meski tentu saja, orang gila cenderung lebih bahagia. Mereka bisa menyembunyikan keputusasaan mereka dengan makan taik."

"Hohoho! Itu sarkastik!"

"Hmmmm."

"Kau takut, kan?"

"Hell yea. Tepatnya, aku pengecut."

"Kau pendusta pula."

"Dusta?"

"Kau mendustai dirimu sendiri. Semua orang ingin memiliki apa yang mereka cintai. Kau bukan santa dan lain sebagainya. Jika benar mencintaiku, maka otomatis kau ingin memilikiku. Tapi kau mendustai dirimu sendiri. Kau menolak gairah untuk itu."

"Ah," dia meludah. "Semua perempuan adalah pendusta. Lagipula, aku hanya mendustai diriku sendiri, dan aku tak marah karenanya, karena aku tahu sisi jujurnya. Aku tak harus menerka-nerka mengapa aku mendustai diriku sendiri atau macam dusta apa yang kusembunyikan. Tapi aku cinta padamu dan itu jujur. Ah, mengapa kau begitu sulit diyakinkan? Lihat? Belum apa-apa aku sudah hampir mati bosan meyakinkan cintaku padamu. Kau seperti timba itu, bermain-main di permukaanku."

"Karena aku tak mengerti, Princess."

"Jangan menghinaku seakan-akan aku misterius. Kau bodoh, itu saja."

Tapi malam itu, aku menggapai-gapai ketika hanya kutemukan jejaknya di kamar ini. Ransel biru. Sepatu putih. Tiga apel hijau yang mulai renta. Tiga? Kenapa bukan dua?

Tapi dia entah di mana.

Aku mulai merasakan kepudaran dirinya.

"Don't leave me alone," keluhnya.

Dia bilang tak mau ditinggalkan. Dan, aku sekali pernah meninggalkannya. Dia pun mengaku tidak bisa sendirian. "Sebab aku takut kesepian," katanya.

Esoknya, dia datang dengan tiga batang bunga rawa. Lagi-lagi tiga? Bukan dua?

Tak ada yang salah ketika kuletakkan seuntai rosario mengelilingi tiga apel yang menua itu. Satu untukku. Satu untuknya. Dan, satu lagi, entah untuk siapa.

"Untuk pengganti buah khuldi yang dicuri Adam dari sorga," katanya.

"Lalu bunga rawa itu untuk siapa?" tanyaku.

"Bukan untuk siapa, tapi untuk apa. Untuk pengganti waktu yang telah hilang. Sebab itu, kini biarkan aku menjauh darimu untuk waktu yang tak tergantikan itu."

Seketika itu aku terjatuh dalam tidur yang mahaluas.

Seperti ketika dia melepaskan perasaannya laksana halilintar yang menyambar-nyambar. Membuat orang-orang di sekelilingnya membelalak dan ketakutan. Lalu, aku yang berada di dekatnya tak menemukan apa-apa selain seringai tanpa dosa.

"Gue sudah mulai mencintaimu, tauk!"

Begitu tanpa dosa, kata-kata itu.

Seperti halilintar, bagi yang lain.

"Ahhh. Emang cuma segitu, kok."

"Sekarang kita bisa jadian, kan?"

Matanya menyalak seperti lampu halogen di kepekatan dinihari tanpa bintang dan fajar. Tapi begitu redup saat tatapannya luruh pada sepatu dan rerumputan.

"Gue cuma pengen asal lu tau aja!"

Dia pun berlalu sambil tetap merunduk, meninggalkan bayangan punggungnya yang melengkung. Tak ada kekecewaan yang dibawanya menjauh. Langkahnya yang cepat menarikan gerakan tap. Kian lama semakin cepat. Seperti kijang melompat-lompat.
Hanya rona-rona yang begitu kekanakan saat dia menoleh dengan sipu.

Dia memang kanak-kanak itu.


3
"TERNYATA idup itu nggak gampang, tak cuma untuk dipikirin. Pokoknya gue cinta. Titik. Tanpa koma!"

Emoticon itu bergerak-gerak. Princess.

"Wakakaka ... idup emang bukan buat dipikirin, tapi dilakonin. Gue juga cinta. Tanpa tanda baca!"

Typing message. Dia tampak sedang menuliskan sesuatu. Tapi, lama tak ada apa-apa di layar monitor itu. Dan, aku pun lama memelototinya.

"Lu salah sent ya?" tanyaku.

Dia masih terdiam.

Aku mulai bosan menunggu. Lalu kembali klik sana, klik sini, mencari-cari sesuatu tanpa peduli.

"Gue gak salah sambung kok. Titik." Akhirnya kata-kata itu muncul juga.

"Tapi sejak kapan lu serius gitu?" kataku.

"Gue emang serius ... kali ini, xixixi."

"Ketawanya gak usah ditulis. Garing tauk!"

"Biarin. EGP!"

"Tapi emang garing."

"Garing kek, basah kuyup kek, emang situ oke."

Huh!

"Eh, ketemuan yuk!" tulisnya kemudian.

"Kapan?"

"Kapan ya?"

"Kok malah nanya lagi."

"Besok gimana?"

"Boleh. Itu pun kalo gue belum mati."

"Yeah! Kalo situ mati besok, gue bikinin acara deh buat in memoriam."

"Jangan lupa pake testimonial yang bagus buat gue ya!"

"Wakakaka ... !"

"Eh, gue bilang ketawanya jangan ditulis. Jayus amat sih lu!"

"Kok marah seh?"

"Siapa yang marah? Gue bilang garing, bukan marah."

"Auk ah!"

Princess sign out. Tapi aku tahu dia belum offline, hanya invisible.

"Sori. Kok malah situ yang ngambek seh?"

Tidak ada jawaban.

"Ya wis. Pokoknya gue (masih) cinta," tulisku.

"Gue juga."

Akhirnya.

Aku tersenyum.


4
TAPI saat ini aku bergeming. Jadi, di sinilah, di taman ini, ia selalu menyerahkan sukmanya kepada seseorang bernama bayang-bayang itu. Taman yang penuh dengan rerumputan serta sebuah hutan kecil. Lalu, menanggalkan tubuhnya melorot menjadi sekeping daun kering yang luruh di atas tanah.

"Gue tak pernah merasa selepas ini," kataku.

Bayang-bayang itu berubah menjadi kilau.

Lalu dimulailah permainan yang penuh rahasia itu. Seperti aji Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu yang bermain-main di dalam kepala kami. Bayang-bayang itu, dalam diamnya, begitu fasih mengurai makna sajatining cinta seperti Wisrawa yang dengan pongah membuka tabir kehidupan yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Dan, kami melayang-layang. Hey, aku mengambang di udara. Aku bisa terbang! Aku bisa terbang!

"Gue tak pernah merasa selepas ini!" teriakku.

Bayang-bayang itu tersenyum. Lalu tertawa. Memperlihatkan taringnya yang panjang dan tajam.

Di taman itu, kami bermain-main dengan kata-kata. Bayang-bayang itu terus menguraikan makna hidup secara sistematis dan aritmatis. Membawaku menapaki beragam molekul yang menempel dalam tubuh kasar kami. Sementara aku terus tertawa-tawa sambil bertahan untuk tidak terbawa ke dalam kata-katanya yang ibarat sihir membiusi setiap benda yang ada di taman itu, termasuk aku.

Benda-benda di taman itu seakan-akan tunduk pada kata-katanya. Semua berbaur seperti pasangan-pasangan yang intim tanpa membedakan bentuk. Rerumputan dengan pohon cemara saling bertautan pucuk-pucuknya. Lalu ilalang saling membelitkan tubuh bersama pohon apel. Buah berry dengan beringin.

Aku tertawa-tawa menghindar dari belitan lidah bayang-bayang itu yang menjalar-jalar seperti tumbuhan sulur. Mencoba membelit sukmaku yang melayang-layang.

Dalam sadarku yang mulai meremang. Aku melihat kilasan tubuh Princess yang terbelit oleh bayang-bayang itu. Tersedot ke dalam kekuatan kata-kata laksana Sukesih yang terpukau kata-kata Wisrawa di taman Argasoka ini. Dan, di sanalah mereka merentangkan tangan. Di taman yang dilalui pada suatu musim, ketika pohon-pohon muda mulai bernyanyi.

Begitu banyak udara untuk dihirup, melayang-layang disangga pepohonan yang hidup, berputar di antara ranting-ranting, jatuh ke tanah lalu membal menjadi angin.

Sedikit debu.

Aku merasa sedang berdoa, keluhmu seraya berputar perlahan. Rambutmu tersapu matahari menjadi kuning.

Tapi tanganmu tak terjalin, jawabku. Kau lebih nampak seperti seorang penari. Berputar-putar mencari jejak kakimu sendiri.

Apalah bedanya. Penari pun berdoa, keluhmu riang.

Sama seperti diriku, mereka mulai melayang-layang, setelah menyadari bahkan alunan musik paling merdu pun terdengar bagai lenguh keledai penarik beban yang sekarat di telinga. Dari balik pepohonan yang terasa bagai telah mereka tinggali selamanya, aku bisa melihat labirin berpucuk bunga dengan hamparan kerikil terakota.

Tapi, mereka terlihat seperti bosan dan tak lagi menginginkannya. Bahkan untuk mencecap kue-kue berbentuk dadu yang jika kau mengigitnya, sebuah sungai selai mabuk yang membuat syarafmu tergetar, sanggup merampas segala ketidakbahagiaan.

Aku pun tak menginginkannya. Seluruh indera telah dihanguskan kelaparan mahadahsyat, terhauskan ketidakpastian hingga menggelepar-gelepar seakan-akan merasai demam berkepanjangan.

Akan pergikah kita kali ini? keluhmu seraya menggapaikan tangan, menekan dinding-dinding udara sekan mengukur kekuatannya.

Bahkan rasa-rasanya aku bisa meresap ke balik udara ini, tersekap dan hidup bahagia di dalamnya.

Lihatlah titik hitam kecil di taman ini, ucapku sambil mendekatkan mukamu pada tubuh-tubuh mereka yang terlihat bahagia.

Benarkah mereka bahagia?

Mereka tidak gelisah!

Mereka diam tak bergerak!

Dengan tangan yang lemah aku kembali menuju perjalanan. Masih tetap menunjukkan doa. Di taman yang dilalui pada suatu musim, ketika pohon-pohon muda mulai bernyanyi.

Aku tersadar dengan tubuh yang lemah, terkapar di taman dengan rerimbunan pohon. Tapi aku tidak kehilangan sukmaku.

"Gue tak pernah merasa selepas ini!" keluhku.


5
TIBA-TIBA taman itu menjadi buram. Dia tersimpuh pada tunggul-tunggul yang gosong. Taman itu telah berubah menjadi puing. Dan, setiap puing adalah sebuah kuburan yang menyisakan kenangan.

Dalam keheningan simpuhnya, kuamati pepohonan di sekitarnya yang tanpa daun. Lalu, seperti medan laga yang baru ditinggal kekalahan, segala yang tersisa ibarat raga yang ditinggalkan sukma. Sukma-sukma yang meninggalkan raga di taman itu melayang-layang membentuk segerombolan awan sambil tak henti menitikkan tangis. Maka, seperti palagan Bharatayuda yang basah oleh hujan, yang menyisa hanyalah onggokan kekalahan dari seratus raga para Kurawa yang mati sia-sia.

Kusaksikan pula, dia yang menyebut dirinya Princess itu, menengadahkan wajahnya ke langit. Laksana Dewi Gandhari yang meratapi kekalahan anak-anaknya di medan Kurusetra, saat untuk kali kedua tutup matanya terbuka.

"Sia-sia semua kesetiaanku, o para dewa," isaknya.

Ia seperti yang sedang menghujat. Tatapan matanya seperti sebuah tamparan atas rasa sakit yang tak terkirakan. Ia menatapku penuh dengan dendam yang mulai memudar. Dendam terhadap rasa cinta yang pahit.

Aku tahu mata itu penuh dengan tuduhan.

"Aku telah memenuhi janji untuk tetap setia," keluhnya.

"Setia saja tidak akan pernah cukup, Princess," kataku lemah.

"Memang tidak akan pernah cukup untuk sebuah pengabdian."

"Sebab, satu kali kau tidak pernah setia. Sesaat, ketika kau masih membukakan mata untuk segala-galanya. Sesaat, sebelum kau memutuskan untuk menutup segala penglihatan demi sebuah kesetiaan itu."

Ia tercenung. Bulu-bulu matanya luruh menaungi cahaya matanya yang garang.

"Tapi aku telah menebus kesalahan itu dengan kesetiaan yang tulus untuk mencintai tanpa henti. Aku mencinta lebih dari yang kau tahu," katanya. Namun, ada setitik keraguan dalam kata-kata itu.

"Cintamu sudah tak utuh, Puteri. Cinta yang hanya menjadi pelampiasan atas wujud yang tak pernah kesampaian. Sebab, kesetiaan yang kautawarkan itu didasari oleh kekecewaan atas roman yang tak pernah maujud. Maka, jangan kausertakan hatimu yang kasar itu menjadi dalih bagi kesetiaanmu. Sebab, kesetiaanmu tidaklah sia-sia. Buktinya, kesetiaan itu telah menjadi kesaktian yang bisa menggosongkan seluruh benda-benda yang kautatap ketika penutup matamu terbuka."

"Apakah aku salah?"

"Tidak ada yang salah, Dewi."

"Apakah waktu yang salah?"

"Bukan salah, tapi kurang tepat."

"Apakah Tuhan yang salah?"

"Tuhan tidak pernah salah, tapi hambanyalah yang alpa."

Lalu, setelah puas menangisi kekalahannya, untuk kali kedua pula, ditutupnya mata dan penglihatanya untuk selama-lamanya. Lalu, ia pun merebahkan diri di antara puing-puing taman itu.

Dan, seperti yang kusaksikan, ia benar-benar menidurkan mata dan hatinya. Merebahkan tubuhnya di atas hamparan dedaunan. Beralaskan rambutnya yang tipis dan mulai memutih, ia menyembunyikan kecantikannya yang penuh dengan duka.

Sejenak ia meratapi kedukaannya. Luka-luka hati yang tak pernah tersembuhkan, saat satu demi satu yang dicintainya secara perlahan meninggalkannya.

Kali ini, ia merasa tak kesepian lagi.***



Bumi Manusia, 2007