Jumat, 20 Juli 2007

Babel

Anda bisa katakan, tindakan Tuhan itu sebuah laku divide et impera yang purba, modus si kuasa menghadang lawan yang hendak menandinginya. Tuhan, dalam Kitab Perjanjian Lama

Kita bisa katakan, yang terjadi hanyalah pengukuhan nasib manusia: terserak-serak, tanpa bahasa yang universal, tanpa makna yang dapat diterima jelas kapan saja dan di mana saja.

Kita juga bisa katakan, dari nasib itu bisa datang sebuah kearifan. ”Tiap peradaban dan tiap kebudayaan adalah sebuah Menara Babel,” kata Reinhold Niebuhr pada 1937. Ketika mengemukakan itu, teolog Protestan itu menyebut perlunya sikap rendah hati, juga dalam agama.

Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gundah (uneasiness).

Orang tahu, Tuhan yang disembahnya melampaui takaran ”manusia yang terbatas”. Sementara itu manusia sendiri ”terus-menerus tergoda untuk lupa akan keterbatasan kebudayaan dan peradabannya”, dan mengira mampu menangkap kebenaran yang terpuncak. Di situlah kisah Menara Babel membantah: manusia memang piawai, tapi daif. Kita perlu hidup bersama orang lain dengan (istilah saya) sebuah ”etika kedaifan”.
(dan juga dalam sajak Amir Hamzah), memang disebut ”cemburu”.

Tidak ada komentar: