Rabu, 19 Desember 2007

Pantai Jayanti: Lelaki yang Diniscayakan

SOSOK tua itu anteng berdiri di ujung dermaga pelabuhan tradisional Jayanti di pesisir selatan Cianjur, Jawa Barat. Sementara lidah-lidah ombak Samudera Hindia membusa di bawah kakinya. Sepuluh langkah di belakang tubuh ringkihnya, saat itu tengah berlangsung hiruk-pikuk hajatan "Pesta Nelayan" yang dihadiri para pejabat pemerintah setempat.

Keberadaan lelaki berusia 80 tahun itu luput dari hiruk-pikuk tersebut. "Mereka memang tidak pernah peduli sama kehadiran Uwak," ujar kakek 7 cucu yang dalit disapa Wak Abeng itu, lirih. Padahal, jika menelisik kembali catatan masa silam, lelaki yang bukan apa-apa tersebut adalah salah seorang perintis dibukanya pantai Jayanti menjadi sebuah pelabuhan nelayan, 40 tahun silam. Dan, satu-satunya yang masih hidup.

Bagi Abeng, ketidakpedulian orang-orang tak menjadi soal. Dia masih bisa memberi pengakuan pada diri sendiri bahwa sejak membuka pantai Jayanti menjadi sebuah pelabuhan, mulai tahun 1967 hingga sekarang, di dalam tubuhnya tetap mengalir darah nelayan. Laut adalah hidupnya, meskipun saat ini dia sudah tidak kuat lagi melaut. Dia pun tak berharap mendapat kemasyhuran atau penghargaan berlebih meskipun telah memberikan kehidupan bagi ratusan nelayan yang saat ini turut menggantang nasib dari hasil melaut di sepanjang pesisir Jayanti. "Uwak tidak butuh apa-apa, sebab sudah merasa cukup dengan kesederhanaan selama ini," tutur lelaki yang pada tahun 1988 mendapat surat pengukuhan sebagai veteran pejuang 1945 dari Menteri Pertahanan RI (L.B. Moerdani, saat itu) dan piagam penghargaan dari Ketua Legiun Veteran RI yang saat itu dipegang oleh M. Taher.

Namun, menjelang uzur, kehadirannya yang niscaya di pelabuhan Jayanti itu, akhir-akhir ini sering membuat Abeng merasa hidupnya begitu tak berarti. "Tak satu potong pun nama Abeng disebut," keluhnya seakan-akan suara rajukan kanak-kanak.

Ah, barangkali memang tak perlu dan tak cukup penting. Barangkali pula, memang tak perlu mengharap. Atau barangkali, ya: Cukup satu tanya, meskipun cuma sepatah kata, dari satu orang. "Biar Uwak merasa pernah melakukan sesuatu yang dianggap berarti," katanya.

Abeng, yang lahir di Garut pada tahun 1927 lampau, mengaku saat pertama kali membuka pesisir Jayanti, daerah tersebut masih berupa rimba pekat yang tidak pernah didatangi orang. Hanya bermodal keberanian sebagai veteran yang pernah ikut hijrah ke Yogyakarta, dia pun terus berusaha menaklukkan tempat baru tersebut, meskipun berkali-kali mengalami musibah ketika berkali-kali pula perahunya karam diterabas puncak-puncak gelombang. Namun, setelah berhasil memahami karakter ombak di sekitar pesisir Jayanti, dia pun mulai menuai hasil. "Ikan di perairan ini sangat banyak, tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut, satu perahu bisa dipenuhi ikan dalam waktu kurang dari satu jam," imbuhnya.

Sejak itu, orang-orang pun mulai banyak yang mengikuti jejaknya menjadi nelayan di Jayanti. Akhirnya, pesisir yang tadinya senyap dan masih ditumbuhi bayangan kelam itu menjadi ramai hingga terbentuklah pelabuhan tradisional tempat melabuhkan perahu. Dan, saat ini, tak kurang dari 700 nelayan aktif menggantungkan hidup di Jayanti, yang secara administratif lokasi persisnya berada di Kampung Jayanti, Desa Cidamar, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, atau sekitar 160 kilometer arah selatan kota Cianjur. Pelabuhan Jayanti yang awalnya hanya merupakan pendaratan perahu alamiah, kini telah menjadi pelabuhan ramai. Belakangan, di sana dibangun dermaga, pendaratan perahu, dan tempat pelelangan ikan yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

Memasuki penghujung senja usianya, Abeng lebih banyak menghabiskan hidupnya di rumah yang berjarak kurang dari 100 meter dari bibir pantai. Namun, debur ombak pantai selatan tak mampu menghapus gurat-gurat kesepian lelaki tua ini. "Mereka (para pejabat dan nelayan) pernah memberi janji, tapi Uwak hanya menerima harap," kata Abeng sambil berlinang.

Menempuh penghujung hidup dan sisa-sisa usia, Abeng hanya tinggal memelihara harapan. Yakni, tentang pengakuan dan kepedulian. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa berharga serta memiliki arti. Termasuk (juga) harapan terhadap seseorang (pejabat, tentu saja) yang memberi janji: sebuah perahu! "Uwak tak pernah meminta, tapi dia yang memberi janji. Janji itu akan Uwak bawa sampai mati," katanya. Meskipun lirih, ada geram dalam suaranya.*