Rabu, 11 Juni 2008

Mengawali Sesuatu dari yang Sepele

RAUNGAN suara mesin yang diikuti taburan asap dari knalpot kendaraan yang berseliweran di kota Cianjur rupanya membuat perempuan berkacamata itu kesal. Maklum saja, sarjana jebolan Universitas Islam Indonesia (UIN) Gunung Djati Bandung (dulu IAIN–Red.) ber nama lengkap Nia Sugiantara ini pecinta lingkungan. Taburan asap yang keluar dari knalpot kendaraan mengotori udara. “Ih, bener, saya suka kesal kalau menyaksikan raungan kendaraan yang berseliweran. Itu kan, asapnya menjadikan polusi udara,” kata gadis kelahiran Cianjur 23 Februari 1973 ini, di rumahnya, Jl. Aria Wiratanudatar, Desa Kademangan, Kec. Mande.
Kecintaan puteri pasangan pensiunan guru Oma Sugiantara dan Nurjanah terhadap lingkungan ini memang beralasan. Karena ia penggiat Environmental Services Program (ESP), sebuah program jasa lingkungan yang didanai United State Agency for Indonesia Development (USAID). Bahkan saat ini pun ia tengah getol–getolnya menjalankan program sekolah dasar (SD) bersih, hijau, dan sehat.
Melalui program yang digelarnya di beberapa SD di Kec. Cianjur, sejak dini anak-anak dibiasakan mencintai keasrian lingkungan, kebersihan, dan kesehatan. Misalnya, menyangkut hal yang dianggap sepele, cuci tangan sebelum makan. “Jika disiplin seperti ini diterapkan sejak dini maka akan mudah melembaga hingga dewasa,” yakin mantan guru Bahasa Inggris di salah satu MTs di Cianjur ini.
Isu lingkungan hidup, papar pecinta olahraga badminton ini, harus lebih digalakan di Kab. Cianjur ini. Karena faktanya, banyak sekali lahan kritis akibat kekurangpedulian masyarakat terhadap keseimbangan ekosistim. Lahan sawah subur yang digasak untuk perumahan, atau lahan dan hutan gundul yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya reboisasi atau penghijauan.
Kondisi alam yang kritis ini, jelas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Cianjur (LBHC) bukan saja pemerintah yang harus bertanggung jawab. Masyarakat sendiri dituntut kepeduliannya memulihkan alam sekitar. “Tidak perlu muluk-muluk, dimulai saja dari menghijaukan pekarangan rumah sendiri,” imbau penyuka masakan Sunda ini.
Bagaimana agar isu lingkungan bisa sampai kepada publik, gadis yang sempat mengasuh anak jalanan selama empat tahun ini seringkali membangun komunikasi dengan wartawan dari berbagai media massa. Karena diyakininya isu apa saja akan mudah disosialisasikan melalui media masa.***

Kamis, 20 Maret 2008

TKW, Dunia Malam, Selanjutnya Terserah Anda

TIDAK mudah menemukan perempuan bernama Dian, 32 tahun, begitu ia mengenalkan diri. Perempuan beranak dua asal Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang memilih kost di daerah Nyomplong, Kota Sukabumi ini lebih sering terlihat di sebuah toko makanan, tak jauh dari Terminal Bus Sudirman, Sukabumi.
Dian, atau ia lebih suka dipanggil Iyan, mengaku sudah dua tahun lebih berhenti dari profesinya. Sebelumnya, ia pernah malang-melintang menjajakan seks di beberapa kawasan lokalisasi. Ia mengaku lama di Gang Semen, sebuah lokalisasi di kawasan Ciawi, Bogor. Selain itu, ia juga pernah mangkal di kawasan Puncak, Cianjur, dan "merantau" ke Batam (meskipun mengaku melarikan diri karena tidak tahan).
Dulu, sekitar tahun 1990-an, Iyan muda masih berusia 17 tahun alias "sweet seventeen". Masa-masa indah tak bisa direguk dengan saksama karena himpitan ekonomi keluarga. Sejak gadis Iyan harus mandiri, usaha mencari penghasilan sendiri karena orangtuanya tak mampu.
Mula-mula, Iyan sendiri mengaku awalnya tidak pernah berniat terjun ke dunia kelabu tersebut. Seperti layaknya cerita cinta klasik, mula-mula, selepas lulus dari sebuah sekolah menengan umum swasta di Cisaat, Iyan bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) sebuah produk rokok. Iyan pun gaul dengan cewekcewek yang biasa nongkrong di pusat perbelanjaan Capitol di kota Sukabumi. Jika malam, sesekali perempuan berkulit hitam manis ini datang ke diskotek dangdut Merdeka (sekarang sudah tutup) atau ke diskotek Melinda.
Bermodal wajah bak purnama, bulu mata lentik dengan mata bulat penuh, Iyan pun merambah dunia gaul. Pembawaannya yang supel dan ramah membuat ia gampang mendapat teman. Kesan tampilan Iyan memang mungil, dengan tinggi badan sekitar 148 cm, tapi sangat menggemaskan. "Dulu, aku memang dijuluki Adek alias Si Mungil oleh temen-temen. Mungil tapi lucu kali ya," ujarnya terkekeh.
Dari pergaulan tersebut, Iyan pun mendapat jodoh. Namun, setahun menikah, ia pun cerai dengan hasil seorang anak perempuan. Iyan pun lantas mendaftar jadi TKW ke Arab Saudi. Sayangnya, bukan mendapat untung, di Tanah Arab Iyan malah sakit dan terpaksa dipulangkan ke tanah air tanpa pesangon.
Kebutuhan banyak, tapi penghasilan tak ada, sejak itulah Iyan pun sering menemani para laki-laki yang haus hiburan. "Hanya menemani, aku tak minta dibayar. Kalau ada yang ngasih, ya syukur," tukas Iyan.
Suatu ketika, ia kepincut lagi pada seorang laki-laki asal Jakarta. Ia pun dinikahi, meskipun hanya menjadi istri simpanan. Iyan pun mulai jarang keluar malam. Ia lebih banyak tinggal di rumah sambil mengurus anaknya. Usia perkawinan yang kedua pun hanya bertahan tidak lebih dari 15 bulan. Untuk kedua kalinya, Iyan pun mendapatkan anak dari hasil perkawinan ini. Kali ini seorang anak laki-laki. Walhasil, dua tanggungan harus dipikul Iyan, padahal ia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Begitulah, Iyan pun akhirnya menerjuni profesi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. "Dulu, aku memilih mending dinikahi, meskipun jadi istri ke berapa pun. Yang penting kebutuhanku tercukupi," tutur Iyan.
Setelah berkali-kali mencoba di berbagai tempat, akhirnya Iyan memutuskan pulang kampung. "Anak-anakku sudah sekolah. Aku ingin membesarkan mereka dengan cara yang lebih baik," ujar Iyan.
Meskipun tidak termasuk berlebih, kini Iyan bisa bernafas lega. Hasil menjalani profesinya sebagai pelacur sejak usia 19 tahun, sejumlah tabungan dimilikinya. "Kalau rumah memang masih ngontrak, tapi ya cukuplah untuk hidupku dengan dua anakku. Mereka kan selama ini tahunya aku bekerja di supermarket," kilah Iyan.
Dian, atau Iyan, atau siapapun nama sebenarnya, menjadi salah satu bagian dari kehidupan warga (Kabupaten) Sukabumi yang terhimpit oleh ekonomi. Kemiskinan pula yang menjadi alasan Iyan menjalani hari-hari yang abu-abu. "Itu dulu, ah jangan diungkit-ungkit lagi. Aku sekarang sudah tobat. Paling-paling sekarang cari objekan bantu temen-temen jual pakaian. Makanya, aku sering nongkrong di sini (toko makanan) karena sering ketemu dengan temen-temen dulu," kata Iyan.
Iyan mengontrak sebuah paviliun dengan dua kamar, ruang tamu merangkap ruang keluarga serta sebuah dapur, di kawasan Tipar Dalam, Kota Sukabumi. Perabotan pun terbilang lengkap, mulai dari perlengkapan elektronik hingga alat-alat kecantikan. Tak seorang pun dari rekan-rekan Iyan yang tahu rumahnya tersebut. "Gak ah, lebih baik orang tidak tahu aku tinggal di sini (rumah). Kasihan anak-anakku," katanya.
Iyan sendiri mengaku jarang pulang ke kampungnya di Cisaat yang hanya berjarak belasan kilometer dari pusat Kota Sukabumi. Selain kedua orangtuanya sudah lama meninggal, bungsu dari 7 bersaudara ini memilih hidup sendiri. "Sejak gadis aku sudah mandiri, lepas dari saudara dan orangtua. Jadi, sekarang pun aku ingin hidup mandiri membesarkan anak-anak," tukas Iyan.
Jika Iyan melakukan pekerjaannya sebagai pelacur tanpa dipaksa atau menjadi korban penipuan, lain dengan Maya, 16 tahun, bukan nama sebenarnya. Perempuan asal Sukaraja, Kabupaten Sukabumi ini menjadi pelacur lantaran ditipu dengan iming-iming pekerjaan di restoran, padahal dijual ke germo untuk dijadikan pelacur.
Maya, yang kawin muda, lantas menjanda, sebelumnya termasuk perempuan yang biasa berkeliaran di tempat-tempat hiburan. "Tapi, maaf, saya tidak menjual diri. Saya hanya butuh hiburan," tutur Maya.
Lantaran terlihat jinak, Maya pun didekati orang yang mengaku penyalur tenaga kerja, sebut saja Ukeu, 40 tahun. Maya ditawari bekerja di bar atau restoran di Jakarta. Dan, bersama tiga rekannya yang lain, Maya pun terpikat. Jadilah, mereka direkrut sebuah yayasan penyalur tenaga kerja di Jakarta.
Sayangnya, mereka tidak sadar telah menjadi korban penipuan. Sebab, bukannya disalurkan ke tempat kerja, empat ABG asal Sukabumi ini malah dijual ke lokalisasi di Amplang-amplang dan Teleju, Pekanbaru, Riau. "Saya dipaksa melayani laki-laki. Sehari bisa delapan kali, dan setiap kali main tarifnya antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Tapi, saya tidak mendapatkan sepeserpun," kata Maya.
Ketika berbincang-bincang di Markas Kepolisian Resor Kota Sukabumi, saat melaporkan kasusnya, mata Maya tak henti-hentinya mengerling. "Main yuk, entar malam. Ke mana aja," bisiknya sambil tersenyum.*

Sabtu, 26 Januari 2008

Working in The Dark

SEORANG buruh migran atau tenaga kerja wanita (TKW) asal Cianjur menjalani eksekusi di Arab Saudi, Sabtu (12/1). TKW bernama Yanti Iryanti binti Jono Sukardi, 42 tahun, tersebut dieksekusi di hadapan regu tembak atas perintah pengadilan Kota Mahayyil Arab Saudi dengan tuduhan telah membunuh majikannya yang bernama Aisyah Muhammad Ibrahim Al Mukhaleed (60).
Namun, pihak keluarga Yanti di Kampung Benda Desa Sukataris Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengaku tak menerima pemberitahuan secara resmi, baik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi maupun perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). "Malah tanggal 6 Juni istri saya masih menelepon dan diterima oleh anak kedua saya, Dona. Katanya, istri saya dalam keadaan baik-baik saja," ujar Gino.
Gino mengatakan, istrinya berangkat ke Arab Saudi bulan Juni 2006 melalui PT Avida Avia Duta yang beralamat di Jalan Pisangan Timur, Jakarta. Yanti dikabarkan bekerja di Kota Assir. Sekitar satu bulan setelah berangkat, pihak KBRI memberi tahu bahwa Yanti mengadu lantaran bertengkar dengan majikannya. Melalui telepon Yanti menjelaskan bahwa pertengkaran tersebut dipicu oleh fitnah yang ditudingkan bahwa dia telah membunuh majikannya.
Waktu itu, Yanti mengaku disuruh membereskan kamar Aisyah. Di dalam kamar, Yanti menemukan Aisyah dalam keadaan sudah meninggal. "Salahnya, waktu itu saya membawa jenazah majikan ke tengah rumah," kata Gino, mengutip kata-kata istrinya.
Namun, setelah itu, Yanti tidak pernah mengatakan apa-apa. Dia sering menelepon mengabarkan kondisinya di sana. Bahkan, kata Gino, istrinya sudah 4 kali melakukan transfer. "Kalau orang bersalah dan ditahan, masa bisa kirim transfer. Terakhir transfer sebelum Lebaran sebanyak 200 real," imbuh Gino.
Menurut Gino, kabar istrinya dieksekusi diketahui dari pemberitaan di televisi. Namun, tambah dia, pihaknya belum yakin dengan kabar tersebut lantaran tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak mana pun. "Tapi, kalau memang betul, kami minta kepada pemerintah supaya jenazah istri saya dikembalikan ke tanah air," sambung Gino.
Gino juga minta pemerintah secepatnya memberikan kejelasan mengenai status Yanti. Sebab, kata dia, sebelum ada pemberitahuan resmi, pihak keluarga masih sangsi dengan kabar meninggalnya Yanti.

Letter of Death
TANGAN kanan Gino, 40 tahun, masih menggelantung di pegangan pintu sebuah bus antarkota yang melintas di shelter Dinas Kesehatan, Cikidang, Cianjur. Sementara tangan kirinya menenteng sejumlah dagangan asongan berupa tahu, telur puyuh rebus, kripik pisang, dan air mineral kemasan. Dia biasa menjajakan dagangannya mulai pagi hingga sore di atas bus antara Cikidang hingga Terminal Bus Rawabango, atau sebaliknya.
Namun, hari itu, Minggu (13/1), ayah 5 anak ini cepat-cepat pulang meskipun waktu baru beranjak menunjukkan pukul 09.00 WIB. Alasannya, dia disusul oleh Heri (39), adik iparnya, yang mengabari ada surat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Arab Saudi.
Airmata pun segera menderas dari mata Gino ketika membaca surat tersebut. Bagaimana tidak, surat yang dibacanya itu mengabarkan kenyataan pahit bahwa istrinya, Yanti Iriyanti (42) yang bekerja di Provinsi Assir, Arab Saudi, telah wafat di hadapan regu tembak alias dieksekusi mati. "Gusti, kenapa jadi begini..." isaknya.
Rumah bercat hijau muda di Kampung Benda Desa Sukataris Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu pun didatangi puluhan warga setempat yang mendengar kabar kematian Yanti. Mereka tak kuasa menahan airmata menyaksikan Gino yang terisak-isak sambil berangkulan dengan kelima orang anaknya.
Yanti dikabarkan menjalani eksekusi di Arab Saudi, Sabtu (12/1), dengan tuduhan telah membunuh majikannya yang bernama Aisyah Muhammad Ibrahim Al Mukhaleed (60). Namun, pihak keluarga masih belum bisa menerima kenyataan tersebut. Sebab, selama ini, tidak ada ada kabar jika Yanti sedang menjalani hukuman. "Malah tanggal 6 Juni istri saya masih menelepon dan diterima oleh anak kedua saya, Dona. Katanya, istri saya dalam keadaan baik-baik saja," ujar Gino saat ditemui di rumahnya.
Gino mengatakan, istrinya berangkat ke Arab Saudi bulan Juni 2006 melalui PT Avida Avia Duta yang beralamat di Jalan Pisangan Timur, Jakarta. Yanti dikabarkan bekerja di Kota Assir. Sekitar satu bulan setelah berangkat, pihak KBRI memberi tahu bahwa Yanti mengadu lantaran bertengkar dengan majikannya. Melalui telepon Yanti menjelaskan bahwa pertengkaran tersebut dipicu oleh fitnah yang ditudingkan bahwa dia telah membunuh majikannya.
Waktu itu, Yanti mengaku disuruh membereskan kamar Aisyah. Di dalam kamar, Yanti menemukan Aisyah dalam keadaan sudah meninggal. "Salahnya, waktu itu saya membawa jenazah majikan ke tengah rumah," kata Gino, mengutip kata-kata istrinya.
Namun, setelah itu, Yanti tidak pernah mengatakan apa-apa. Dia sering menelepon mengabarkan kondisinya di sana. Bahkan, kata Gino, istrinya sudah 4 kali melakukan transfer. "Kalau orang bersalah dan ditahan, masa bisa kirim transfer. Terakhir transfer sebelum Lebaran sebanyak 200 real," imbuh Gino.
Menurut Gino, kabar istrinya dieksekusi diketahui dari pemberitaan di televisi. Namun, tambah dia, pihaknya belum yakin dengan kabar tersebut lantaran tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak mana pun. "Tapi, kalau memang betul, kami minta kepada pemerintah supaya jenazah istri saya dikembalikan ke tanah air," sambung Gino.
Bupati Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh, mengaku sangat prihatin dengan nasib yang dialami salah seorang warganya tersebut. Menurut dia, selain mengucapkan turut bela sungkawa, pihak pemerintah sendiri akan memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkannya. "Kasus ini harus menjadi kasus terakhir yang terjadi di Cianjur. Kami harus membereskan masalah yang terus membelit para tenaga kerja tersebut," ujar Tjetjep.