Rabu, 28 November 2007

Prawatasari

Menggagas Pahlawan Nasional

"HAMPIR setiap minggu, saya berolahraga di Lapang Prawatasari (dulu disebut Lapang Joglo, red.), tapi masih tidak tahu siapa itu Prawatasari," demikian diungkapkan Bupati Cianjur, Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, M.M., kira-kira 5 bulan silam. Namun, bisa jadi, keterusterangan yang disampaikan orang nomor satu di Cianjur ini, terjadi pula pada orang lain. Bahkan, mungkin kebanyakan orang Cianjur sendiri tidak mengetahui mengenai sejarah kepahlawanan tokoh kharismatik yang tahun 1703-1707 melakukan perlawanan terhadap VOC di wilayah Cianjur bagian selatan (Jampang) ini.
Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pihak yang memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan pejuang bernama lengkap Raden Haji Alit Prawatasari ini, berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat Cianjur. Dewan Kesenian Cianjur (DKC) mendukung Pemerintah Kab. Cianjur menjadikan tahun 2007 sebagai tahun "300 Tahun Gugurnya Prawatasari". Selain itu, ada pula kegiatan-kegiatan lain, di antaranya ziarah ke Makam Aria Salingsingan di Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah, yang disebut-sebut sebagai makam Prawatasari.
Kemudian, sejak Juli hingga November 2007, setiap komite seni di DKC, seperti komite teater, seni rupa, sastra, film, dan lainnya menyiapkan pergelaran seni yang mengangkat kepahlawanan Prawatasari. Bahkan, pelukis Soni Ahmad Soleh, sudah menyelesaikan satu buah lukisan dengan ukuran 2 X 3 meter, yang menggambarkan Pasukan Siluman Prawatasari sedang menggempur pasukan Belanda. "Untuk ke depannya, kami berencana menerbitkan buku sejarah bergambar untuk anak-anak SD yang akan dibagikan secara gratis ke setiap sekolah," kata Ketua DKC, Andry M. Kartanegara, SH.

Kajian dan Penelitian
Sejarah kepahlawanan Raden Prawatasari hingga kini memang dianggap minim. Para ilmuwan maupun ahli sejarah pun, seperti dikatakan Aan Merdeka Permana, penulis yang menggemari cerita-cerita sejarah, tak banyak tulisan atau pendapat dari pihak "ilmuwan resmi" yang bercerita tentang perjuangan Prawatasari dari Jampang. Padahal, di sebagian masyarakat tradisional, cerita mengenai Prawatasari ini sangat dihapal. Bahkan, masih menurut tilikan Aan Merdeka, taktik kemiliteran Haji Prawatasari dalam menghadapi VOC telah gunakan 12 taktik tempur Pajajaran, amat dipercaya mereka. "Haji Prawatasari dibesarkan di Jampang, sementara kampus perguruan tinggi ilmu kemiliteran Pajajaran terdapat di wilayah antara Surade dan Jampangkulon. Dengan demikan sangat pas bila pengetahuan militer Haji Prawatasari didapat dari alumni perguruan tinggi kemiliteran Pajajaran di pakidulan Sukabumi," cetus dia.
Jejak kepahlawanan Prawatasari yang benar-benar resmi muncul ketika terbit Surat Perintah Panglima TNI No. Sprin. 783/PXII/1984 dan Surat Keputusan Panglima TNI No. Skep. 182/IV/1985 tanggal 8 April 1985. Kedua surat tersebut menjadi dasar dibentuknya tim yang bertugas meneliti, menelaah, dan menyusun peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh pejuang perlawanan rakyat di Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten). Hasil seleksi tim tersebut terpilih 3 tokoh dan peristiwa sejarah yang memenugi kriteria Pahlawan Keprajuritan Nasional, yakni Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) dari Banten, Raden Alit Prawatasari (1703-1707) dari Priangan, dan Bagus Rangin (1802-1819) dari Cirebon.
Harapan dan keinginan warga Cianjur untuk menempatkan Prawatasari sebagai Pahlawan Nasional tidak pernah surut, meskipun secara literatur sangat minim. Aan Merdeka, dalam penjelasan yang disampaikan dalam acara "Seminar Sehari tentang H. Alit Prawatasari dalam Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional" di Gedung DPRD Kab. Cianjur, Kamis (8/11) beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa dia pernah menemui H. Makbul Husein yang ditengarai sebagai keturunan Prawatasari. "Beliau punya catatan-catatan mengenai Prawatasari, tapi tidak bisa ikut membaca dengan dalih belum saatnya," kata Aan.
Berbagai urun pendapat pun muncul pada kegiatan seminar yang digagas DKC bekerja sama dengan Kantor Kesbang Kab. Cianjur tersebut. Selain Aan Merdeka Permana, hadir pula sebagai narasumber antara lain Yoseph Iskandar, Dr. A. Sobana Harjasaputra MA, dan Dyah Padmini, Ph.D. Ada pula Sekretaris Pusat Kesejarahan dan Tradisi TNI, Kol. Inf. R. Ridhani serta Kepala Museum Keprajuritan Indonesia, Letkol CAJ Sutanto.
Yoseph Iskandar mengemukakan temuan yang telah masuk catatan Pusat Kesejarahan dan Tradisi TNI bahwa perjuangan Prawatasari telah diakui resmi oleh pemerintah sebagai tokoh Keprajuritan Nasional. Pemerintah pun, katanya, melalui Markas Besar TNI telah mengabadikannya dalam bentuk patung dan fragmen di Museum Keprajuritan Indonesia, Komplek Taman Mini Indonesia Indah.
Dyah Padmini mengatakan, Prawatasari merupakan salah seorang pelaku sejarah yang merintis perjuangan bangsa dalam menegakkan kedaulatan rakyat di jamannya. Dyah setuju jika pemerintah menganugrahi Prawatasari gelar Pahlawan Nasional. "Dalam konteks ini, gelar merupakan peringatan terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi di Cianjur-SUkabumi pada awal abad ke 18 dengan pelakunya adalah Prawatasari. Gelar yang akan diajukan ini juga bisa menjadi penyulut semangat nasionalisme bagi generasi saat ini," ungkapnya.*


Andry M. Kartanegara, SH, Ketua Dewan Kesenian Cianjur
"Ingin Meneruskan Amanah 20 Tahun Lalu"

MASYARAKAT Jawa Barat selama ini lebih mengenal nama-nama pahlawan nasional Indonesia yang berjuang ketika VOC berkuasa, seperti Pangeran Diponegoro, Patimura, Sisingamangaraja, atau Hasanuddin. Nama-nama pejuang yang dikenal kebanyakan masyarakat itu, umumnya berasal dari luar Jabar.
Sementara itu nama-nama pejuang, termasuk tokoh pemimpin perjuangan rakyat dari Tatar Priangan, relatif sedikit yang dikenal masyarakat. Padahal, banyak pejuang besar dari Tatar Sunda yang memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa pamrih serta memiliki andil besar terhadap negeri ini. Namun nama mereka kurang dikenal masyarakat Jabar, salah satu contoh Raden Alit Prawatasari, ulama Cianjur yang berjihad melawan VOC pada tahun 1703-1707.
Apabila melihat peran dan kiprahnya selama memimpin perjuangan, seharusnya Raden Prawatasari pantas menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional. "Di tatar Cianjur, sosok Prawatasari merupakan tokoh pimpinan perjuangan rakyat dan ulama yang semasa hidupnya berjihad melawan penjajah. Melihat perjuangannya, sebagai komponen masyarakat merasa perlu mengusulkan namanya agar mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah pusat," kata Andry M. Kartanegara, SH, Ketua Dewan Kesenian Cianjur (DKC), pada acara Seminar Sehari tentang H. Alit Prawatasari, dalam Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional di Gedung DPRD Kab. Cianjur, Kamis (8/11) lalu.
Menurut Andry, melalui seminar yang digelar Dewan Kesenian Cianjur bekerja sama dengan Kantor Kesbang Kab. Cianjur, pihaknya ingin melanjutkan amanah yang telah dirintis para seniman cianjur 20 tahun lalu. Tujuannya mengangkat pahlawan putra Cianjur, Rd. Prawatasari, supaya bisa mendapat gelar Pahlawan Nasional yang belum terealisasi sejak tahun 1987 lalu. "Kami mulai merintis kembali tahun 2005 lalu, diawali dengan mengusulkan kepada Pemkab. Cianjur untuk mengabadikan nama Prawatasari pada salah satu tempat di Cianjur Kota. Alhamdulillah, Bupati Cianjur bersama DPRD Kab. Cianjur telah menerbitkan Perda dan menetapkan Lapang Joglo menjadi Lapang Prawatasari," jelasnya.
Tahun 2007, lanjut Andry, bertepatan dengan tiga abad mengenang perjuangan Prawatasari, DKC menggulirkan berbagai program kegiatan bertema "Mengenang Tiga Abad Perjuangan Prawatasari", seperti pementasan drama dan lukisan Prawatasari, festival film pendek yang ditonton tidak kurang dari 4.000 pelajar Cianjur. "Menyambut Hari Pahlawan, kami menggelar seminar sehari tentang Prawatasari," ungkapnya.
Dikatakan Andry, untuk mendukung keinginan agar Prawatasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian dan kunjungan ke berbagai tempat, di antaranya ke Kp. Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah. Walaupun belum diuji kebenarannya, sampai saat ini di daerah tersebut diyakini terdapat makam Prawatasari. Lalu ke Pusat Kesejarahan TNI, dan ternyata namanya belum tercatat sebagai pahlawan nasional. Padahal jika dilihat dari catatan perjuangannya, Prawatasari merupakan sosok ulama yang menentang penjajahan Belanda. Malahan, hingga akhir hayatnya, Prawatasari terus berjuang, dengan wilayah tidak hanya di Cianjur, tetapi meluas ke beberapa daerah di Jabar, Banten dan Jateng. "Perjalanan masih panjang dan perlu ada tim khusus. Mudah-mudahan melalui sebuah seminar, paling tidak bisa menghasilkan suatu kesimpulan sekaligus menjadi penentu untuk mengusulkan nama Prawatasari menjadi Pahlawan Nasional," katanya.*

Rabu, 07 November 2007

Kabuyutan (Situs) Ciburuy, Garut

Pusat Studi dan Dokumentasi Jaman Bihari
SIANG itu, Sabtu (3/11), awan hitam menggantung di langit Garut. Namun, mendung tak menyurutkan minat Julian Millie untuk terus melangkah ke kaki Gunung Cikuray, tepatnya ke Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. Hasrat Ketua Departemen Antropologi Monash University Australia ini begitu besar untuk menyambangi sebuah situs bernama Kabuyutan Ciburuy yang konon menyimpan puluhan manuskrip dari abad 16 Masehi. "Saya baru pertama kali datang ke sini. Saya tertarik mengetahui apa itu Kabuyutan Ciburuy," ujar bule yang fasih Bahasan Indonesia dan sedikit Bahasa Sunda ini.

Julian tidak sendirian. Dia datang bersama rombongan pelancong yang memiliki minat sama soal naskah-naskah kuno. Ikut pula ahli filologi dari Puat Studi Sunda, Dra. Tien Wartini, M.Hum., dan Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita.

Menurut Warjita, Tien Wartini, Kabuyutan Ciburuy bisa diibaratkan sebagai sebuah pusat studi pada jaman dahulu kala. Sebab, berbeda dengan situs-situs yang lain, tak ada prasasti atau peninggalan berupa artefak di Ciburuy. "Peninggalan yang paling utama adalah puluhan naskah kuno berbentuk manuskrip yang ditulis di daun lontar dan nipah. Naskah-naskah tersebut hampir semuanya belum bisa dibaca," ujar Tien.

Kabuyutan Ciburuy, kata Tien, bisa disebut sebagai pusat kajian dan studi yang menyisakan peninggalan penting dari abad 16. Dari sekira 57 naskah yang ada, baru 3 naskah yang sudah dibaca dan diterjemahkan untuk masyarakat umum. Ketiga naskah tersebut masing-masing Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma. "Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi dunia filologi. Sebab, kami berharap bisa mengungkap satu sejarah yang terkandung dalam naskah-naskah di Kabuyutan Ciburuy ini," imbuh Tien.

Secara topografi, letak Kabuyutan Ciburuy memang sangat ideal sebagai sebuah padepokan. Situs yang saat ini berbentuk replika ini memiliki 6 bagian utama dengan bentuk bangunan panggung yang mirip dengan bangunan-bangunan tradisional di berbagai daerah di Jawa Barat. Keenam bagian tersebut terdiri dari Saung Lisung, Leuit, Patamon, Padaleman, Pangalihan, dan Pangsujudan. Bangunan-bangunan tersebut berada dalam satu areal seluas 600 meter persegi. Pertama kali dibangun ulang sesuai dengan bangunan aslinya pada tahun 1982 berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Patamon sebagai gedung utama di bagian luar berisi barang-barang berupa keris eluk, keris badik, peso (pisau), bedog (golok), selendang rante (selempang terbuat dari rantai), dan cupu keramik. Sedangkan di Padaleman, gedung utama di bagian dalam, tersimpan naskah atau karya tulis di dalam beberapa peti. Antara bagian luar dan bagian dalam dipisahkan oleh semacam benteng yang terbuat dari anyaman bambu (bilik). Seperti dijelaskan Ujang Mulyana (27), kuncen dan juga juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy, situs tersebut merupakan tempat musyawarah yang dibangun pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Menurut dia, tempat ini menjadi tempat pertemuan sekaligus pelatihan ilmu. "Kemungkinan hasil pertemuan dan pelatihan tersebut tertulis seperti yang ada dalam naskah itu," kata Ujang.

Lebih lanjut Ujang menjelaskan, berdasarkan penuturan dari kuncen-kuncen sebelumnya, ada beberapa bagian di Kabuyutan Ciburuy yang tidak bisa dimasuki sembarang orang dan sembarang waktu. Menurut dia, tamu yang datang secara umum hanya bisa diterima di bangunan Patamon (pertemuan). Untuk memasuki bagian lain seperti Padaleman (bagian dalam) dan Pangsujudan (tempat peribadatan), bagi pengunjung umum hanya diperkenankan pada saat pelaksanaan Upacara Seba setiap hari Rabu akhir buan Muharam. "Kecuali ada izin khusus dari kuncen," kata Ujang.

Ujang mengatakan, setiap bagian memang memiliki makna khusus. Pada jaman dulu, katanya, bagian atau tahapan itu merupakan tahap dalam penguasaan ilmu, khususnya ilmu kanuragan. "Setiap naik tahap merupakan kenaikan dalam tingkatan keilmuan," ujar dia.

Secara umum Kabuyutan Ciburuy terbuka untuk kunjungan masyarakat. Menurut Nana, sebagian besar masyarakat yang datang tujuannya meminta dimudahkan usaha. "Itu tujuan utama para pengunjung," imbuh Ujang. Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita, menjelaskan, Kabuyutan Ciburuy termasuk cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor pusat di Serang, Banten. Namun demikian, pemerintah setempat ikut melakukan pemeliharaan secara insidentil. "Anggarannya memang tidak masuk pos yang dialokasikan di Pemkab Garut, namun secara insidentil kami tetap membantu dari sisi pemeliharaan," katanya.

Warjita menegaskan, beda dengan objek wisata lain yang ada di Kabupaten Garut, Kabuyutan Ciburuy hingga saat ini belum menjadi aset yang menghasilkan pendapatan. Sebab, dari sisi retribusi, pemerintah setempat belum mengenakan pungutan apapun bagi pengunjung yang datang ke situs tersebut. "Para pengunjung hanya didaftar sebagai bahan laporan ke dinas. Selain itu, tidak ada pungutan yang dikenakan," kata dia.

Saat ini, di Kabuyutan terdapat dua orang Jupel, dari total 14 Jupel di seluruh Kabupaten Garut. Warjita mengaku peran Jupel ini sangat vital karena menjadi pendata sekaligus pemelihara berbagai situs yang menjadi objek pariwisata. "Meskipun statusnya sebagai pegawai di bawah BP3, namun mereka juga dimintai membuat laporan per triwulan ke dinas setempat," ujar Warjita.

Saat ini, Jupel Kabuyutan Ciburuy berstatus tenaga honorer di BP3. Mereka mendapatkan tunjangan atau honorarium yang dibayar per triwulan. "Setiap 3 bulan kami mendapat honorarium sebesar Rp 1 juta," kata Ujang.***

Mencari Jejak Kerajaan
MESKIPUN secara geografis Kabuyutan Ciburuy berada di wilayah Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong, puluhan naskah kuno yang tersimpan hingga saat ini belum dipastikan peninggalan kerajaan mana. Beberapa naskah yang sudah dibaca dan dialihbahasakan seperti Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma, bernuansa Hindu. Di Jawa Barat, kerajaan Hindu yang ada pada masa abad ke-16 adalah Pajajaran. Sementara itu, berdasarkan tuturan lisan yang tersebar secara turum-temurun di lingkungan masyarakat setempat, unsur Islam sangat kental.

Dijelaskan Dra. Tien Wartini, M.Hum., ahli filologi dari Pusat Studi Sunda, berdasarkan hasil pembacaan terhadap naskah Amanat Galunggung, Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma, diperkirakan naskah-naskah yang berasal dari masa abad ke-16 Masehi itu berasal dari Kabuyutan Ciburuy. Hal tersebut dikatakan dalam naskah Amanat Galunggung. "Naskah tersebut dikatakan berasal dari sebuah tempat yang berada di kaki Gunung Cikuray. Tempat yang sangat mirip dengan deskripsi tersebut adalah daerah Ciburuy," kata Tien.

Tien sendiri mengaku sangat tertarik mendeskripsikan manuskrip-manuskrip yang saat ini masih tersimpan di Padaleman Kabuyutan Ciburuy. Selain untuk kepentingan keilmuan, isi naskah kuno tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat umum sebagai gambaran pola kehidupan masyarakat pada masa itu. "Sayangnya, kami baru bisa mengambil foto beberapa naskah. Itu pun sampai saat ini belum dibaca karena hanya sedikit ahli yang mampu membaca dan menerjemahkan secara lancar naskah-naskah yang berbahasa dan bertuliskan aksara Sunda Kuno. Apalagi ada beberapa di antaranya yang diduga menggunakan tulisan aksara Budha," terang Tien.

Keberadaan naskah-naskah kuno itu sendiri, menurut Tien, sangat memprihatinkan. Manuskrip yang masih belum terungkap itu tersimpan dalam peti dalam kondisi sebagian telah rusak karena termakan usia. "Naskah tersebut tak bisa sembarangan dibuka karena dikeramatkan. Bagi kami, sangat penting untuk menyelamatkan aset tersebut karena isinya, bukan bendanya. Tapi kami pun tak bisa berbuat banyak karena berbenturan dengan masalah tradisi," tandas dia.

Padahal, imbuh Tien, ada hal penting yang perlu diteliti dan digali oleh para ahli filologi, yakni kejelasan jejak kerajaan pada saat itu. Tien berkeyakinan jika naskah-naskah itu bisa dibaca dan diterjemahkan, kemungkinan akan terungkap kerajaan apa yang memiliki jejak di situs tersebut. "Masalahnya, sampai saat ini belum terungkap kerajaan mana yang membangun padepokan yang berfungsi sebagai pusat studi dan dokumentasi tersebut," pungkas Tien.

Keyakinan Tien sejalan dengan pemikiran Hawe Setiawan, siswa pascasarjana FSRD ITB yang saat ini sedang menggarap tesis. Hawe mengaku berkeinginan mengetahui isi naskah yang tersimpan di Kabuyutan Ciburuy dengan harapan bisa memetakan pola kemasyarakatan pada saat itu. Selain terbentur dengan minimnya hasil penerjemahan, informasi yang ada di dalam naskah itu juga sulit dijelaskan karena sulitnya akses untuk membuka naskah tersebut. "Padahal jauh-jauh datang ke tempat ini, saya ingin mengetahui informasi tentang naskah-naskah kuno itu," tutur dia.

Pihak juru pelihara Kabuyutan Ciburuy itu sendiri seakan-akan paham dengan keingintahuan para pengunjung ini. Ujang Mulyana (27), kuncen tempat tersebut, kemudian memberikan izin khusus untuk masuk ke Padaleman, tempat penyimpanan naskah-naskah kuno tersebut. "Padahal, seharusnya hari-hari biasa tidak boleh ada yang masuk ke tempat ini," kata dia.

Selain memberikan ijin khusus masuk ke Padaleman, Ujang pun memberi kesempatan membuka peti yang berisi salah satu naskah terbuat dari daun lontar. Sayangnya, keterbatasan waktu tidak memungkinkan naskah tersebut dibaca secara leluasa. Di samping naskah, di dalam peti juga terdapat perangkat yang berhubungan dengan karya tulis seperti peso pangot, alat untuk menulis pada daun lontar, serta sebuah bingkai kacamata yang terbuat dari batok kelapa.***

Nana Sumpena: "Tukuh Ciburuy"
TIDAK sembarangan pengunjung bisa datang dan memasuki kawasan Kabuyutan Ciburuy. Ada kepercayaan yang dipegang teguh yakni, tukuh (tradisi) yang disebut Tukuh Ciburuy. Salah satu tukuh yang dipegang kuat adalah tidak menerima pengunjung pada hari Selasa dan Jumat. "Pada hari-hari biasa pengunjung bisa datang, kecuali Selasa dan Jumat. Itu pantangan yang menjadi tukuh di tempat ini," terang Nana Sumpena (31), salah seorang juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy.

Nana menjelaskan, tradisi tidak menerima siapapun pada hari Selasa dan Jumat merujuk pada pada jaman dulu bahwa dua hari tersebut sering dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan internal. "Selasa adalah waktu yang dipakai untuk pertemuan (musyawarah), sedangkan Jumat untuk peribadatan (Jumatan)," kata dia.

Selain tukuh pantang menerima pengunjung pada hari Selasa dan Jumat, ada beberapa tukuh lain yang hingga saat ini terus diterapkan di situs yang berada di kaki Gunung Cikuray tersebut. Salah satu tukuh utama yang selalu dilaksanakan adalah membersihkan barang-barang yang tersimpan di tempat tersebut, terutama barang-barang berupa senjata seperti keris, peso, bedog, cupu, seledang, dan sejenisnya. Barang-barang tersebut setahun sekali, setiap Upacara Seba yang jatuh pada hari Rabu terakhir bulan Muharam dalam penanggalan Hijriyah, dikeluarkan untuk dibersihkan.

Barang-barang itu dibersihkan oleh sang kuncen tidak dengan sembarang minyak, melainkan dengan buah kaliki. "Buah tersebut dikeringkan dan di-sangray hingga tutung, kemudian dipakai untuk menggosok barang-barang yang harus dibersihkan setiap tahun," ujar Nana.

Pada setiap perayaan Upacara Seba pula ada tukuh yang dipercaya harus selalu ada, yakni 3 macam penganan khas setempat, berupa ladu, ulen, dan wajit. Meskipun secara umum ketiga jenis penganan tersebut ada di setiap daerah di Jawa Barat, rasa dan cara pengolahannya berbeda. Ladu, ulen, dan wajit tersebut dibuat dari jenis beras ketan asli yang dihasilkan di tempat tersebut. "Ladunya tidak dicampur tepung, sedangkan wajitnya tidak dibungkus," kata Nana.***