Rabu, 11 Juni 2008

Mengawali Sesuatu dari yang Sepele

RAUNGAN suara mesin yang diikuti taburan asap dari knalpot kendaraan yang berseliweran di kota Cianjur rupanya membuat perempuan berkacamata itu kesal. Maklum saja, sarjana jebolan Universitas Islam Indonesia (UIN) Gunung Djati Bandung (dulu IAIN–Red.) ber nama lengkap Nia Sugiantara ini pecinta lingkungan. Taburan asap yang keluar dari knalpot kendaraan mengotori udara. “Ih, bener, saya suka kesal kalau menyaksikan raungan kendaraan yang berseliweran. Itu kan, asapnya menjadikan polusi udara,” kata gadis kelahiran Cianjur 23 Februari 1973 ini, di rumahnya, Jl. Aria Wiratanudatar, Desa Kademangan, Kec. Mande.
Kecintaan puteri pasangan pensiunan guru Oma Sugiantara dan Nurjanah terhadap lingkungan ini memang beralasan. Karena ia penggiat Environmental Services Program (ESP), sebuah program jasa lingkungan yang didanai United State Agency for Indonesia Development (USAID). Bahkan saat ini pun ia tengah getol–getolnya menjalankan program sekolah dasar (SD) bersih, hijau, dan sehat.
Melalui program yang digelarnya di beberapa SD di Kec. Cianjur, sejak dini anak-anak dibiasakan mencintai keasrian lingkungan, kebersihan, dan kesehatan. Misalnya, menyangkut hal yang dianggap sepele, cuci tangan sebelum makan. “Jika disiplin seperti ini diterapkan sejak dini maka akan mudah melembaga hingga dewasa,” yakin mantan guru Bahasa Inggris di salah satu MTs di Cianjur ini.
Isu lingkungan hidup, papar pecinta olahraga badminton ini, harus lebih digalakan di Kab. Cianjur ini. Karena faktanya, banyak sekali lahan kritis akibat kekurangpedulian masyarakat terhadap keseimbangan ekosistim. Lahan sawah subur yang digasak untuk perumahan, atau lahan dan hutan gundul yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya reboisasi atau penghijauan.
Kondisi alam yang kritis ini, jelas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Cianjur (LBHC) bukan saja pemerintah yang harus bertanggung jawab. Masyarakat sendiri dituntut kepeduliannya memulihkan alam sekitar. “Tidak perlu muluk-muluk, dimulai saja dari menghijaukan pekarangan rumah sendiri,” imbau penyuka masakan Sunda ini.
Bagaimana agar isu lingkungan bisa sampai kepada publik, gadis yang sempat mengasuh anak jalanan selama empat tahun ini seringkali membangun komunikasi dengan wartawan dari berbagai media massa. Karena diyakininya isu apa saja akan mudah disosialisasikan melalui media masa.***

Kamis, 20 Maret 2008

TKW, Dunia Malam, Selanjutnya Terserah Anda

TIDAK mudah menemukan perempuan bernama Dian, 32 tahun, begitu ia mengenalkan diri. Perempuan beranak dua asal Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang memilih kost di daerah Nyomplong, Kota Sukabumi ini lebih sering terlihat di sebuah toko makanan, tak jauh dari Terminal Bus Sudirman, Sukabumi.
Dian, atau ia lebih suka dipanggil Iyan, mengaku sudah dua tahun lebih berhenti dari profesinya. Sebelumnya, ia pernah malang-melintang menjajakan seks di beberapa kawasan lokalisasi. Ia mengaku lama di Gang Semen, sebuah lokalisasi di kawasan Ciawi, Bogor. Selain itu, ia juga pernah mangkal di kawasan Puncak, Cianjur, dan "merantau" ke Batam (meskipun mengaku melarikan diri karena tidak tahan).
Dulu, sekitar tahun 1990-an, Iyan muda masih berusia 17 tahun alias "sweet seventeen". Masa-masa indah tak bisa direguk dengan saksama karena himpitan ekonomi keluarga. Sejak gadis Iyan harus mandiri, usaha mencari penghasilan sendiri karena orangtuanya tak mampu.
Mula-mula, Iyan sendiri mengaku awalnya tidak pernah berniat terjun ke dunia kelabu tersebut. Seperti layaknya cerita cinta klasik, mula-mula, selepas lulus dari sebuah sekolah menengan umum swasta di Cisaat, Iyan bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) sebuah produk rokok. Iyan pun gaul dengan cewekcewek yang biasa nongkrong di pusat perbelanjaan Capitol di kota Sukabumi. Jika malam, sesekali perempuan berkulit hitam manis ini datang ke diskotek dangdut Merdeka (sekarang sudah tutup) atau ke diskotek Melinda.
Bermodal wajah bak purnama, bulu mata lentik dengan mata bulat penuh, Iyan pun merambah dunia gaul. Pembawaannya yang supel dan ramah membuat ia gampang mendapat teman. Kesan tampilan Iyan memang mungil, dengan tinggi badan sekitar 148 cm, tapi sangat menggemaskan. "Dulu, aku memang dijuluki Adek alias Si Mungil oleh temen-temen. Mungil tapi lucu kali ya," ujarnya terkekeh.
Dari pergaulan tersebut, Iyan pun mendapat jodoh. Namun, setahun menikah, ia pun cerai dengan hasil seorang anak perempuan. Iyan pun lantas mendaftar jadi TKW ke Arab Saudi. Sayangnya, bukan mendapat untung, di Tanah Arab Iyan malah sakit dan terpaksa dipulangkan ke tanah air tanpa pesangon.
Kebutuhan banyak, tapi penghasilan tak ada, sejak itulah Iyan pun sering menemani para laki-laki yang haus hiburan. "Hanya menemani, aku tak minta dibayar. Kalau ada yang ngasih, ya syukur," tukas Iyan.
Suatu ketika, ia kepincut lagi pada seorang laki-laki asal Jakarta. Ia pun dinikahi, meskipun hanya menjadi istri simpanan. Iyan pun mulai jarang keluar malam. Ia lebih banyak tinggal di rumah sambil mengurus anaknya. Usia perkawinan yang kedua pun hanya bertahan tidak lebih dari 15 bulan. Untuk kedua kalinya, Iyan pun mendapatkan anak dari hasil perkawinan ini. Kali ini seorang anak laki-laki. Walhasil, dua tanggungan harus dipikul Iyan, padahal ia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Begitulah, Iyan pun akhirnya menerjuni profesi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. "Dulu, aku memilih mending dinikahi, meskipun jadi istri ke berapa pun. Yang penting kebutuhanku tercukupi," tutur Iyan.
Setelah berkali-kali mencoba di berbagai tempat, akhirnya Iyan memutuskan pulang kampung. "Anak-anakku sudah sekolah. Aku ingin membesarkan mereka dengan cara yang lebih baik," ujar Iyan.
Meskipun tidak termasuk berlebih, kini Iyan bisa bernafas lega. Hasil menjalani profesinya sebagai pelacur sejak usia 19 tahun, sejumlah tabungan dimilikinya. "Kalau rumah memang masih ngontrak, tapi ya cukuplah untuk hidupku dengan dua anakku. Mereka kan selama ini tahunya aku bekerja di supermarket," kilah Iyan.
Dian, atau Iyan, atau siapapun nama sebenarnya, menjadi salah satu bagian dari kehidupan warga (Kabupaten) Sukabumi yang terhimpit oleh ekonomi. Kemiskinan pula yang menjadi alasan Iyan menjalani hari-hari yang abu-abu. "Itu dulu, ah jangan diungkit-ungkit lagi. Aku sekarang sudah tobat. Paling-paling sekarang cari objekan bantu temen-temen jual pakaian. Makanya, aku sering nongkrong di sini (toko makanan) karena sering ketemu dengan temen-temen dulu," kata Iyan.
Iyan mengontrak sebuah paviliun dengan dua kamar, ruang tamu merangkap ruang keluarga serta sebuah dapur, di kawasan Tipar Dalam, Kota Sukabumi. Perabotan pun terbilang lengkap, mulai dari perlengkapan elektronik hingga alat-alat kecantikan. Tak seorang pun dari rekan-rekan Iyan yang tahu rumahnya tersebut. "Gak ah, lebih baik orang tidak tahu aku tinggal di sini (rumah). Kasihan anak-anakku," katanya.
Iyan sendiri mengaku jarang pulang ke kampungnya di Cisaat yang hanya berjarak belasan kilometer dari pusat Kota Sukabumi. Selain kedua orangtuanya sudah lama meninggal, bungsu dari 7 bersaudara ini memilih hidup sendiri. "Sejak gadis aku sudah mandiri, lepas dari saudara dan orangtua. Jadi, sekarang pun aku ingin hidup mandiri membesarkan anak-anak," tukas Iyan.
Jika Iyan melakukan pekerjaannya sebagai pelacur tanpa dipaksa atau menjadi korban penipuan, lain dengan Maya, 16 tahun, bukan nama sebenarnya. Perempuan asal Sukaraja, Kabupaten Sukabumi ini menjadi pelacur lantaran ditipu dengan iming-iming pekerjaan di restoran, padahal dijual ke germo untuk dijadikan pelacur.
Maya, yang kawin muda, lantas menjanda, sebelumnya termasuk perempuan yang biasa berkeliaran di tempat-tempat hiburan. "Tapi, maaf, saya tidak menjual diri. Saya hanya butuh hiburan," tutur Maya.
Lantaran terlihat jinak, Maya pun didekati orang yang mengaku penyalur tenaga kerja, sebut saja Ukeu, 40 tahun. Maya ditawari bekerja di bar atau restoran di Jakarta. Dan, bersama tiga rekannya yang lain, Maya pun terpikat. Jadilah, mereka direkrut sebuah yayasan penyalur tenaga kerja di Jakarta.
Sayangnya, mereka tidak sadar telah menjadi korban penipuan. Sebab, bukannya disalurkan ke tempat kerja, empat ABG asal Sukabumi ini malah dijual ke lokalisasi di Amplang-amplang dan Teleju, Pekanbaru, Riau. "Saya dipaksa melayani laki-laki. Sehari bisa delapan kali, dan setiap kali main tarifnya antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Tapi, saya tidak mendapatkan sepeserpun," kata Maya.
Ketika berbincang-bincang di Markas Kepolisian Resor Kota Sukabumi, saat melaporkan kasusnya, mata Maya tak henti-hentinya mengerling. "Main yuk, entar malam. Ke mana aja," bisiknya sambil tersenyum.*

Sabtu, 26 Januari 2008

Working in The Dark

SEORANG buruh migran atau tenaga kerja wanita (TKW) asal Cianjur menjalani eksekusi di Arab Saudi, Sabtu (12/1). TKW bernama Yanti Iryanti binti Jono Sukardi, 42 tahun, tersebut dieksekusi di hadapan regu tembak atas perintah pengadilan Kota Mahayyil Arab Saudi dengan tuduhan telah membunuh majikannya yang bernama Aisyah Muhammad Ibrahim Al Mukhaleed (60).
Namun, pihak keluarga Yanti di Kampung Benda Desa Sukataris Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengaku tak menerima pemberitahuan secara resmi, baik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi maupun perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). "Malah tanggal 6 Juni istri saya masih menelepon dan diterima oleh anak kedua saya, Dona. Katanya, istri saya dalam keadaan baik-baik saja," ujar Gino.
Gino mengatakan, istrinya berangkat ke Arab Saudi bulan Juni 2006 melalui PT Avida Avia Duta yang beralamat di Jalan Pisangan Timur, Jakarta. Yanti dikabarkan bekerja di Kota Assir. Sekitar satu bulan setelah berangkat, pihak KBRI memberi tahu bahwa Yanti mengadu lantaran bertengkar dengan majikannya. Melalui telepon Yanti menjelaskan bahwa pertengkaran tersebut dipicu oleh fitnah yang ditudingkan bahwa dia telah membunuh majikannya.
Waktu itu, Yanti mengaku disuruh membereskan kamar Aisyah. Di dalam kamar, Yanti menemukan Aisyah dalam keadaan sudah meninggal. "Salahnya, waktu itu saya membawa jenazah majikan ke tengah rumah," kata Gino, mengutip kata-kata istrinya.
Namun, setelah itu, Yanti tidak pernah mengatakan apa-apa. Dia sering menelepon mengabarkan kondisinya di sana. Bahkan, kata Gino, istrinya sudah 4 kali melakukan transfer. "Kalau orang bersalah dan ditahan, masa bisa kirim transfer. Terakhir transfer sebelum Lebaran sebanyak 200 real," imbuh Gino.
Menurut Gino, kabar istrinya dieksekusi diketahui dari pemberitaan di televisi. Namun, tambah dia, pihaknya belum yakin dengan kabar tersebut lantaran tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak mana pun. "Tapi, kalau memang betul, kami minta kepada pemerintah supaya jenazah istri saya dikembalikan ke tanah air," sambung Gino.
Gino juga minta pemerintah secepatnya memberikan kejelasan mengenai status Yanti. Sebab, kata dia, sebelum ada pemberitahuan resmi, pihak keluarga masih sangsi dengan kabar meninggalnya Yanti.

Letter of Death
TANGAN kanan Gino, 40 tahun, masih menggelantung di pegangan pintu sebuah bus antarkota yang melintas di shelter Dinas Kesehatan, Cikidang, Cianjur. Sementara tangan kirinya menenteng sejumlah dagangan asongan berupa tahu, telur puyuh rebus, kripik pisang, dan air mineral kemasan. Dia biasa menjajakan dagangannya mulai pagi hingga sore di atas bus antara Cikidang hingga Terminal Bus Rawabango, atau sebaliknya.
Namun, hari itu, Minggu (13/1), ayah 5 anak ini cepat-cepat pulang meskipun waktu baru beranjak menunjukkan pukul 09.00 WIB. Alasannya, dia disusul oleh Heri (39), adik iparnya, yang mengabari ada surat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Arab Saudi.
Airmata pun segera menderas dari mata Gino ketika membaca surat tersebut. Bagaimana tidak, surat yang dibacanya itu mengabarkan kenyataan pahit bahwa istrinya, Yanti Iriyanti (42) yang bekerja di Provinsi Assir, Arab Saudi, telah wafat di hadapan regu tembak alias dieksekusi mati. "Gusti, kenapa jadi begini..." isaknya.
Rumah bercat hijau muda di Kampung Benda Desa Sukataris Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu pun didatangi puluhan warga setempat yang mendengar kabar kematian Yanti. Mereka tak kuasa menahan airmata menyaksikan Gino yang terisak-isak sambil berangkulan dengan kelima orang anaknya.
Yanti dikabarkan menjalani eksekusi di Arab Saudi, Sabtu (12/1), dengan tuduhan telah membunuh majikannya yang bernama Aisyah Muhammad Ibrahim Al Mukhaleed (60). Namun, pihak keluarga masih belum bisa menerima kenyataan tersebut. Sebab, selama ini, tidak ada ada kabar jika Yanti sedang menjalani hukuman. "Malah tanggal 6 Juni istri saya masih menelepon dan diterima oleh anak kedua saya, Dona. Katanya, istri saya dalam keadaan baik-baik saja," ujar Gino saat ditemui di rumahnya.
Gino mengatakan, istrinya berangkat ke Arab Saudi bulan Juni 2006 melalui PT Avida Avia Duta yang beralamat di Jalan Pisangan Timur, Jakarta. Yanti dikabarkan bekerja di Kota Assir. Sekitar satu bulan setelah berangkat, pihak KBRI memberi tahu bahwa Yanti mengadu lantaran bertengkar dengan majikannya. Melalui telepon Yanti menjelaskan bahwa pertengkaran tersebut dipicu oleh fitnah yang ditudingkan bahwa dia telah membunuh majikannya.
Waktu itu, Yanti mengaku disuruh membereskan kamar Aisyah. Di dalam kamar, Yanti menemukan Aisyah dalam keadaan sudah meninggal. "Salahnya, waktu itu saya membawa jenazah majikan ke tengah rumah," kata Gino, mengutip kata-kata istrinya.
Namun, setelah itu, Yanti tidak pernah mengatakan apa-apa. Dia sering menelepon mengabarkan kondisinya di sana. Bahkan, kata Gino, istrinya sudah 4 kali melakukan transfer. "Kalau orang bersalah dan ditahan, masa bisa kirim transfer. Terakhir transfer sebelum Lebaran sebanyak 200 real," imbuh Gino.
Menurut Gino, kabar istrinya dieksekusi diketahui dari pemberitaan di televisi. Namun, tambah dia, pihaknya belum yakin dengan kabar tersebut lantaran tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak mana pun. "Tapi, kalau memang betul, kami minta kepada pemerintah supaya jenazah istri saya dikembalikan ke tanah air," sambung Gino.
Bupati Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh, mengaku sangat prihatin dengan nasib yang dialami salah seorang warganya tersebut. Menurut dia, selain mengucapkan turut bela sungkawa, pihak pemerintah sendiri akan memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkannya. "Kasus ini harus menjadi kasus terakhir yang terjadi di Cianjur. Kami harus membereskan masalah yang terus membelit para tenaga kerja tersebut," ujar Tjetjep.

Rabu, 19 Desember 2007

Pantai Jayanti: Lelaki yang Diniscayakan

SOSOK tua itu anteng berdiri di ujung dermaga pelabuhan tradisional Jayanti di pesisir selatan Cianjur, Jawa Barat. Sementara lidah-lidah ombak Samudera Hindia membusa di bawah kakinya. Sepuluh langkah di belakang tubuh ringkihnya, saat itu tengah berlangsung hiruk-pikuk hajatan "Pesta Nelayan" yang dihadiri para pejabat pemerintah setempat.

Keberadaan lelaki berusia 80 tahun itu luput dari hiruk-pikuk tersebut. "Mereka memang tidak pernah peduli sama kehadiran Uwak," ujar kakek 7 cucu yang dalit disapa Wak Abeng itu, lirih. Padahal, jika menelisik kembali catatan masa silam, lelaki yang bukan apa-apa tersebut adalah salah seorang perintis dibukanya pantai Jayanti menjadi sebuah pelabuhan nelayan, 40 tahun silam. Dan, satu-satunya yang masih hidup.

Bagi Abeng, ketidakpedulian orang-orang tak menjadi soal. Dia masih bisa memberi pengakuan pada diri sendiri bahwa sejak membuka pantai Jayanti menjadi sebuah pelabuhan, mulai tahun 1967 hingga sekarang, di dalam tubuhnya tetap mengalir darah nelayan. Laut adalah hidupnya, meskipun saat ini dia sudah tidak kuat lagi melaut. Dia pun tak berharap mendapat kemasyhuran atau penghargaan berlebih meskipun telah memberikan kehidupan bagi ratusan nelayan yang saat ini turut menggantang nasib dari hasil melaut di sepanjang pesisir Jayanti. "Uwak tidak butuh apa-apa, sebab sudah merasa cukup dengan kesederhanaan selama ini," tutur lelaki yang pada tahun 1988 mendapat surat pengukuhan sebagai veteran pejuang 1945 dari Menteri Pertahanan RI (L.B. Moerdani, saat itu) dan piagam penghargaan dari Ketua Legiun Veteran RI yang saat itu dipegang oleh M. Taher.

Namun, menjelang uzur, kehadirannya yang niscaya di pelabuhan Jayanti itu, akhir-akhir ini sering membuat Abeng merasa hidupnya begitu tak berarti. "Tak satu potong pun nama Abeng disebut," keluhnya seakan-akan suara rajukan kanak-kanak.

Ah, barangkali memang tak perlu dan tak cukup penting. Barangkali pula, memang tak perlu mengharap. Atau barangkali, ya: Cukup satu tanya, meskipun cuma sepatah kata, dari satu orang. "Biar Uwak merasa pernah melakukan sesuatu yang dianggap berarti," katanya.

Abeng, yang lahir di Garut pada tahun 1927 lampau, mengaku saat pertama kali membuka pesisir Jayanti, daerah tersebut masih berupa rimba pekat yang tidak pernah didatangi orang. Hanya bermodal keberanian sebagai veteran yang pernah ikut hijrah ke Yogyakarta, dia pun terus berusaha menaklukkan tempat baru tersebut, meskipun berkali-kali mengalami musibah ketika berkali-kali pula perahunya karam diterabas puncak-puncak gelombang. Namun, setelah berhasil memahami karakter ombak di sekitar pesisir Jayanti, dia pun mulai menuai hasil. "Ikan di perairan ini sangat banyak, tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut, satu perahu bisa dipenuhi ikan dalam waktu kurang dari satu jam," imbuhnya.

Sejak itu, orang-orang pun mulai banyak yang mengikuti jejaknya menjadi nelayan di Jayanti. Akhirnya, pesisir yang tadinya senyap dan masih ditumbuhi bayangan kelam itu menjadi ramai hingga terbentuklah pelabuhan tradisional tempat melabuhkan perahu. Dan, saat ini, tak kurang dari 700 nelayan aktif menggantungkan hidup di Jayanti, yang secara administratif lokasi persisnya berada di Kampung Jayanti, Desa Cidamar, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, atau sekitar 160 kilometer arah selatan kota Cianjur. Pelabuhan Jayanti yang awalnya hanya merupakan pendaratan perahu alamiah, kini telah menjadi pelabuhan ramai. Belakangan, di sana dibangun dermaga, pendaratan perahu, dan tempat pelelangan ikan yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

Memasuki penghujung senja usianya, Abeng lebih banyak menghabiskan hidupnya di rumah yang berjarak kurang dari 100 meter dari bibir pantai. Namun, debur ombak pantai selatan tak mampu menghapus gurat-gurat kesepian lelaki tua ini. "Mereka (para pejabat dan nelayan) pernah memberi janji, tapi Uwak hanya menerima harap," kata Abeng sambil berlinang.

Menempuh penghujung hidup dan sisa-sisa usia, Abeng hanya tinggal memelihara harapan. Yakni, tentang pengakuan dan kepedulian. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa berharga serta memiliki arti. Termasuk (juga) harapan terhadap seseorang (pejabat, tentu saja) yang memberi janji: sebuah perahu! "Uwak tak pernah meminta, tapi dia yang memberi janji. Janji itu akan Uwak bawa sampai mati," katanya. Meskipun lirih, ada geram dalam suaranya.*

Rabu, 28 November 2007

Prawatasari

Menggagas Pahlawan Nasional

"HAMPIR setiap minggu, saya berolahraga di Lapang Prawatasari (dulu disebut Lapang Joglo, red.), tapi masih tidak tahu siapa itu Prawatasari," demikian diungkapkan Bupati Cianjur, Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, M.M., kira-kira 5 bulan silam. Namun, bisa jadi, keterusterangan yang disampaikan orang nomor satu di Cianjur ini, terjadi pula pada orang lain. Bahkan, mungkin kebanyakan orang Cianjur sendiri tidak mengetahui mengenai sejarah kepahlawanan tokoh kharismatik yang tahun 1703-1707 melakukan perlawanan terhadap VOC di wilayah Cianjur bagian selatan (Jampang) ini.
Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pihak yang memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan pejuang bernama lengkap Raden Haji Alit Prawatasari ini, berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat Cianjur. Dewan Kesenian Cianjur (DKC) mendukung Pemerintah Kab. Cianjur menjadikan tahun 2007 sebagai tahun "300 Tahun Gugurnya Prawatasari". Selain itu, ada pula kegiatan-kegiatan lain, di antaranya ziarah ke Makam Aria Salingsingan di Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah, yang disebut-sebut sebagai makam Prawatasari.
Kemudian, sejak Juli hingga November 2007, setiap komite seni di DKC, seperti komite teater, seni rupa, sastra, film, dan lainnya menyiapkan pergelaran seni yang mengangkat kepahlawanan Prawatasari. Bahkan, pelukis Soni Ahmad Soleh, sudah menyelesaikan satu buah lukisan dengan ukuran 2 X 3 meter, yang menggambarkan Pasukan Siluman Prawatasari sedang menggempur pasukan Belanda. "Untuk ke depannya, kami berencana menerbitkan buku sejarah bergambar untuk anak-anak SD yang akan dibagikan secara gratis ke setiap sekolah," kata Ketua DKC, Andry M. Kartanegara, SH.

Kajian dan Penelitian
Sejarah kepahlawanan Raden Prawatasari hingga kini memang dianggap minim. Para ilmuwan maupun ahli sejarah pun, seperti dikatakan Aan Merdeka Permana, penulis yang menggemari cerita-cerita sejarah, tak banyak tulisan atau pendapat dari pihak "ilmuwan resmi" yang bercerita tentang perjuangan Prawatasari dari Jampang. Padahal, di sebagian masyarakat tradisional, cerita mengenai Prawatasari ini sangat dihapal. Bahkan, masih menurut tilikan Aan Merdeka, taktik kemiliteran Haji Prawatasari dalam menghadapi VOC telah gunakan 12 taktik tempur Pajajaran, amat dipercaya mereka. "Haji Prawatasari dibesarkan di Jampang, sementara kampus perguruan tinggi ilmu kemiliteran Pajajaran terdapat di wilayah antara Surade dan Jampangkulon. Dengan demikan sangat pas bila pengetahuan militer Haji Prawatasari didapat dari alumni perguruan tinggi kemiliteran Pajajaran di pakidulan Sukabumi," cetus dia.
Jejak kepahlawanan Prawatasari yang benar-benar resmi muncul ketika terbit Surat Perintah Panglima TNI No. Sprin. 783/PXII/1984 dan Surat Keputusan Panglima TNI No. Skep. 182/IV/1985 tanggal 8 April 1985. Kedua surat tersebut menjadi dasar dibentuknya tim yang bertugas meneliti, menelaah, dan menyusun peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh pejuang perlawanan rakyat di Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten). Hasil seleksi tim tersebut terpilih 3 tokoh dan peristiwa sejarah yang memenugi kriteria Pahlawan Keprajuritan Nasional, yakni Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) dari Banten, Raden Alit Prawatasari (1703-1707) dari Priangan, dan Bagus Rangin (1802-1819) dari Cirebon.
Harapan dan keinginan warga Cianjur untuk menempatkan Prawatasari sebagai Pahlawan Nasional tidak pernah surut, meskipun secara literatur sangat minim. Aan Merdeka, dalam penjelasan yang disampaikan dalam acara "Seminar Sehari tentang H. Alit Prawatasari dalam Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional" di Gedung DPRD Kab. Cianjur, Kamis (8/11) beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa dia pernah menemui H. Makbul Husein yang ditengarai sebagai keturunan Prawatasari. "Beliau punya catatan-catatan mengenai Prawatasari, tapi tidak bisa ikut membaca dengan dalih belum saatnya," kata Aan.
Berbagai urun pendapat pun muncul pada kegiatan seminar yang digagas DKC bekerja sama dengan Kantor Kesbang Kab. Cianjur tersebut. Selain Aan Merdeka Permana, hadir pula sebagai narasumber antara lain Yoseph Iskandar, Dr. A. Sobana Harjasaputra MA, dan Dyah Padmini, Ph.D. Ada pula Sekretaris Pusat Kesejarahan dan Tradisi TNI, Kol. Inf. R. Ridhani serta Kepala Museum Keprajuritan Indonesia, Letkol CAJ Sutanto.
Yoseph Iskandar mengemukakan temuan yang telah masuk catatan Pusat Kesejarahan dan Tradisi TNI bahwa perjuangan Prawatasari telah diakui resmi oleh pemerintah sebagai tokoh Keprajuritan Nasional. Pemerintah pun, katanya, melalui Markas Besar TNI telah mengabadikannya dalam bentuk patung dan fragmen di Museum Keprajuritan Indonesia, Komplek Taman Mini Indonesia Indah.
Dyah Padmini mengatakan, Prawatasari merupakan salah seorang pelaku sejarah yang merintis perjuangan bangsa dalam menegakkan kedaulatan rakyat di jamannya. Dyah setuju jika pemerintah menganugrahi Prawatasari gelar Pahlawan Nasional. "Dalam konteks ini, gelar merupakan peringatan terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi di Cianjur-SUkabumi pada awal abad ke 18 dengan pelakunya adalah Prawatasari. Gelar yang akan diajukan ini juga bisa menjadi penyulut semangat nasionalisme bagi generasi saat ini," ungkapnya.*


Andry M. Kartanegara, SH, Ketua Dewan Kesenian Cianjur
"Ingin Meneruskan Amanah 20 Tahun Lalu"

MASYARAKAT Jawa Barat selama ini lebih mengenal nama-nama pahlawan nasional Indonesia yang berjuang ketika VOC berkuasa, seperti Pangeran Diponegoro, Patimura, Sisingamangaraja, atau Hasanuddin. Nama-nama pejuang yang dikenal kebanyakan masyarakat itu, umumnya berasal dari luar Jabar.
Sementara itu nama-nama pejuang, termasuk tokoh pemimpin perjuangan rakyat dari Tatar Priangan, relatif sedikit yang dikenal masyarakat. Padahal, banyak pejuang besar dari Tatar Sunda yang memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa pamrih serta memiliki andil besar terhadap negeri ini. Namun nama mereka kurang dikenal masyarakat Jabar, salah satu contoh Raden Alit Prawatasari, ulama Cianjur yang berjihad melawan VOC pada tahun 1703-1707.
Apabila melihat peran dan kiprahnya selama memimpin perjuangan, seharusnya Raden Prawatasari pantas menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional. "Di tatar Cianjur, sosok Prawatasari merupakan tokoh pimpinan perjuangan rakyat dan ulama yang semasa hidupnya berjihad melawan penjajah. Melihat perjuangannya, sebagai komponen masyarakat merasa perlu mengusulkan namanya agar mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah pusat," kata Andry M. Kartanegara, SH, Ketua Dewan Kesenian Cianjur (DKC), pada acara Seminar Sehari tentang H. Alit Prawatasari, dalam Upaya Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional di Gedung DPRD Kab. Cianjur, Kamis (8/11) lalu.
Menurut Andry, melalui seminar yang digelar Dewan Kesenian Cianjur bekerja sama dengan Kantor Kesbang Kab. Cianjur, pihaknya ingin melanjutkan amanah yang telah dirintis para seniman cianjur 20 tahun lalu. Tujuannya mengangkat pahlawan putra Cianjur, Rd. Prawatasari, supaya bisa mendapat gelar Pahlawan Nasional yang belum terealisasi sejak tahun 1987 lalu. "Kami mulai merintis kembali tahun 2005 lalu, diawali dengan mengusulkan kepada Pemkab. Cianjur untuk mengabadikan nama Prawatasari pada salah satu tempat di Cianjur Kota. Alhamdulillah, Bupati Cianjur bersama DPRD Kab. Cianjur telah menerbitkan Perda dan menetapkan Lapang Joglo menjadi Lapang Prawatasari," jelasnya.
Tahun 2007, lanjut Andry, bertepatan dengan tiga abad mengenang perjuangan Prawatasari, DKC menggulirkan berbagai program kegiatan bertema "Mengenang Tiga Abad Perjuangan Prawatasari", seperti pementasan drama dan lukisan Prawatasari, festival film pendek yang ditonton tidak kurang dari 4.000 pelajar Cianjur. "Menyambut Hari Pahlawan, kami menggelar seminar sehari tentang Prawatasari," ungkapnya.
Dikatakan Andry, untuk mendukung keinginan agar Prawatasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian dan kunjungan ke berbagai tempat, di antaranya ke Kp. Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah. Walaupun belum diuji kebenarannya, sampai saat ini di daerah tersebut diyakini terdapat makam Prawatasari. Lalu ke Pusat Kesejarahan TNI, dan ternyata namanya belum tercatat sebagai pahlawan nasional. Padahal jika dilihat dari catatan perjuangannya, Prawatasari merupakan sosok ulama yang menentang penjajahan Belanda. Malahan, hingga akhir hayatnya, Prawatasari terus berjuang, dengan wilayah tidak hanya di Cianjur, tetapi meluas ke beberapa daerah di Jabar, Banten dan Jateng. "Perjalanan masih panjang dan perlu ada tim khusus. Mudah-mudahan melalui sebuah seminar, paling tidak bisa menghasilkan suatu kesimpulan sekaligus menjadi penentu untuk mengusulkan nama Prawatasari menjadi Pahlawan Nasional," katanya.*

Rabu, 07 November 2007

Kabuyutan (Situs) Ciburuy, Garut

Pusat Studi dan Dokumentasi Jaman Bihari
SIANG itu, Sabtu (3/11), awan hitam menggantung di langit Garut. Namun, mendung tak menyurutkan minat Julian Millie untuk terus melangkah ke kaki Gunung Cikuray, tepatnya ke Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. Hasrat Ketua Departemen Antropologi Monash University Australia ini begitu besar untuk menyambangi sebuah situs bernama Kabuyutan Ciburuy yang konon menyimpan puluhan manuskrip dari abad 16 Masehi. "Saya baru pertama kali datang ke sini. Saya tertarik mengetahui apa itu Kabuyutan Ciburuy," ujar bule yang fasih Bahasan Indonesia dan sedikit Bahasa Sunda ini.

Julian tidak sendirian. Dia datang bersama rombongan pelancong yang memiliki minat sama soal naskah-naskah kuno. Ikut pula ahli filologi dari Puat Studi Sunda, Dra. Tien Wartini, M.Hum., dan Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita.

Menurut Warjita, Tien Wartini, Kabuyutan Ciburuy bisa diibaratkan sebagai sebuah pusat studi pada jaman dahulu kala. Sebab, berbeda dengan situs-situs yang lain, tak ada prasasti atau peninggalan berupa artefak di Ciburuy. "Peninggalan yang paling utama adalah puluhan naskah kuno berbentuk manuskrip yang ditulis di daun lontar dan nipah. Naskah-naskah tersebut hampir semuanya belum bisa dibaca," ujar Tien.

Kabuyutan Ciburuy, kata Tien, bisa disebut sebagai pusat kajian dan studi yang menyisakan peninggalan penting dari abad 16. Dari sekira 57 naskah yang ada, baru 3 naskah yang sudah dibaca dan diterjemahkan untuk masyarakat umum. Ketiga naskah tersebut masing-masing Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma. "Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi dunia filologi. Sebab, kami berharap bisa mengungkap satu sejarah yang terkandung dalam naskah-naskah di Kabuyutan Ciburuy ini," imbuh Tien.

Secara topografi, letak Kabuyutan Ciburuy memang sangat ideal sebagai sebuah padepokan. Situs yang saat ini berbentuk replika ini memiliki 6 bagian utama dengan bentuk bangunan panggung yang mirip dengan bangunan-bangunan tradisional di berbagai daerah di Jawa Barat. Keenam bagian tersebut terdiri dari Saung Lisung, Leuit, Patamon, Padaleman, Pangalihan, dan Pangsujudan. Bangunan-bangunan tersebut berada dalam satu areal seluas 600 meter persegi. Pertama kali dibangun ulang sesuai dengan bangunan aslinya pada tahun 1982 berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Patamon sebagai gedung utama di bagian luar berisi barang-barang berupa keris eluk, keris badik, peso (pisau), bedog (golok), selendang rante (selempang terbuat dari rantai), dan cupu keramik. Sedangkan di Padaleman, gedung utama di bagian dalam, tersimpan naskah atau karya tulis di dalam beberapa peti. Antara bagian luar dan bagian dalam dipisahkan oleh semacam benteng yang terbuat dari anyaman bambu (bilik). Seperti dijelaskan Ujang Mulyana (27), kuncen dan juga juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy, situs tersebut merupakan tempat musyawarah yang dibangun pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Menurut dia, tempat ini menjadi tempat pertemuan sekaligus pelatihan ilmu. "Kemungkinan hasil pertemuan dan pelatihan tersebut tertulis seperti yang ada dalam naskah itu," kata Ujang.

Lebih lanjut Ujang menjelaskan, berdasarkan penuturan dari kuncen-kuncen sebelumnya, ada beberapa bagian di Kabuyutan Ciburuy yang tidak bisa dimasuki sembarang orang dan sembarang waktu. Menurut dia, tamu yang datang secara umum hanya bisa diterima di bangunan Patamon (pertemuan). Untuk memasuki bagian lain seperti Padaleman (bagian dalam) dan Pangsujudan (tempat peribadatan), bagi pengunjung umum hanya diperkenankan pada saat pelaksanaan Upacara Seba setiap hari Rabu akhir buan Muharam. "Kecuali ada izin khusus dari kuncen," kata Ujang.

Ujang mengatakan, setiap bagian memang memiliki makna khusus. Pada jaman dulu, katanya, bagian atau tahapan itu merupakan tahap dalam penguasaan ilmu, khususnya ilmu kanuragan. "Setiap naik tahap merupakan kenaikan dalam tingkatan keilmuan," ujar dia.

Secara umum Kabuyutan Ciburuy terbuka untuk kunjungan masyarakat. Menurut Nana, sebagian besar masyarakat yang datang tujuannya meminta dimudahkan usaha. "Itu tujuan utama para pengunjung," imbuh Ujang. Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita, menjelaskan, Kabuyutan Ciburuy termasuk cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor pusat di Serang, Banten. Namun demikian, pemerintah setempat ikut melakukan pemeliharaan secara insidentil. "Anggarannya memang tidak masuk pos yang dialokasikan di Pemkab Garut, namun secara insidentil kami tetap membantu dari sisi pemeliharaan," katanya.

Warjita menegaskan, beda dengan objek wisata lain yang ada di Kabupaten Garut, Kabuyutan Ciburuy hingga saat ini belum menjadi aset yang menghasilkan pendapatan. Sebab, dari sisi retribusi, pemerintah setempat belum mengenakan pungutan apapun bagi pengunjung yang datang ke situs tersebut. "Para pengunjung hanya didaftar sebagai bahan laporan ke dinas. Selain itu, tidak ada pungutan yang dikenakan," kata dia.

Saat ini, di Kabuyutan terdapat dua orang Jupel, dari total 14 Jupel di seluruh Kabupaten Garut. Warjita mengaku peran Jupel ini sangat vital karena menjadi pendata sekaligus pemelihara berbagai situs yang menjadi objek pariwisata. "Meskipun statusnya sebagai pegawai di bawah BP3, namun mereka juga dimintai membuat laporan per triwulan ke dinas setempat," ujar Warjita.

Saat ini, Jupel Kabuyutan Ciburuy berstatus tenaga honorer di BP3. Mereka mendapatkan tunjangan atau honorarium yang dibayar per triwulan. "Setiap 3 bulan kami mendapat honorarium sebesar Rp 1 juta," kata Ujang.***

Mencari Jejak Kerajaan
MESKIPUN secara geografis Kabuyutan Ciburuy berada di wilayah Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong, puluhan naskah kuno yang tersimpan hingga saat ini belum dipastikan peninggalan kerajaan mana. Beberapa naskah yang sudah dibaca dan dialihbahasakan seperti Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma, bernuansa Hindu. Di Jawa Barat, kerajaan Hindu yang ada pada masa abad ke-16 adalah Pajajaran. Sementara itu, berdasarkan tuturan lisan yang tersebar secara turum-temurun di lingkungan masyarakat setempat, unsur Islam sangat kental.

Dijelaskan Dra. Tien Wartini, M.Hum., ahli filologi dari Pusat Studi Sunda, berdasarkan hasil pembacaan terhadap naskah Amanat Galunggung, Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma, diperkirakan naskah-naskah yang berasal dari masa abad ke-16 Masehi itu berasal dari Kabuyutan Ciburuy. Hal tersebut dikatakan dalam naskah Amanat Galunggung. "Naskah tersebut dikatakan berasal dari sebuah tempat yang berada di kaki Gunung Cikuray. Tempat yang sangat mirip dengan deskripsi tersebut adalah daerah Ciburuy," kata Tien.

Tien sendiri mengaku sangat tertarik mendeskripsikan manuskrip-manuskrip yang saat ini masih tersimpan di Padaleman Kabuyutan Ciburuy. Selain untuk kepentingan keilmuan, isi naskah kuno tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat umum sebagai gambaran pola kehidupan masyarakat pada masa itu. "Sayangnya, kami baru bisa mengambil foto beberapa naskah. Itu pun sampai saat ini belum dibaca karena hanya sedikit ahli yang mampu membaca dan menerjemahkan secara lancar naskah-naskah yang berbahasa dan bertuliskan aksara Sunda Kuno. Apalagi ada beberapa di antaranya yang diduga menggunakan tulisan aksara Budha," terang Tien.

Keberadaan naskah-naskah kuno itu sendiri, menurut Tien, sangat memprihatinkan. Manuskrip yang masih belum terungkap itu tersimpan dalam peti dalam kondisi sebagian telah rusak karena termakan usia. "Naskah tersebut tak bisa sembarangan dibuka karena dikeramatkan. Bagi kami, sangat penting untuk menyelamatkan aset tersebut karena isinya, bukan bendanya. Tapi kami pun tak bisa berbuat banyak karena berbenturan dengan masalah tradisi," tandas dia.

Padahal, imbuh Tien, ada hal penting yang perlu diteliti dan digali oleh para ahli filologi, yakni kejelasan jejak kerajaan pada saat itu. Tien berkeyakinan jika naskah-naskah itu bisa dibaca dan diterjemahkan, kemungkinan akan terungkap kerajaan apa yang memiliki jejak di situs tersebut. "Masalahnya, sampai saat ini belum terungkap kerajaan mana yang membangun padepokan yang berfungsi sebagai pusat studi dan dokumentasi tersebut," pungkas Tien.

Keyakinan Tien sejalan dengan pemikiran Hawe Setiawan, siswa pascasarjana FSRD ITB yang saat ini sedang menggarap tesis. Hawe mengaku berkeinginan mengetahui isi naskah yang tersimpan di Kabuyutan Ciburuy dengan harapan bisa memetakan pola kemasyarakatan pada saat itu. Selain terbentur dengan minimnya hasil penerjemahan, informasi yang ada di dalam naskah itu juga sulit dijelaskan karena sulitnya akses untuk membuka naskah tersebut. "Padahal jauh-jauh datang ke tempat ini, saya ingin mengetahui informasi tentang naskah-naskah kuno itu," tutur dia.

Pihak juru pelihara Kabuyutan Ciburuy itu sendiri seakan-akan paham dengan keingintahuan para pengunjung ini. Ujang Mulyana (27), kuncen tempat tersebut, kemudian memberikan izin khusus untuk masuk ke Padaleman, tempat penyimpanan naskah-naskah kuno tersebut. "Padahal, seharusnya hari-hari biasa tidak boleh ada yang masuk ke tempat ini," kata dia.

Selain memberikan ijin khusus masuk ke Padaleman, Ujang pun memberi kesempatan membuka peti yang berisi salah satu naskah terbuat dari daun lontar. Sayangnya, keterbatasan waktu tidak memungkinkan naskah tersebut dibaca secara leluasa. Di samping naskah, di dalam peti juga terdapat perangkat yang berhubungan dengan karya tulis seperti peso pangot, alat untuk menulis pada daun lontar, serta sebuah bingkai kacamata yang terbuat dari batok kelapa.***

Nana Sumpena: "Tukuh Ciburuy"
TIDAK sembarangan pengunjung bisa datang dan memasuki kawasan Kabuyutan Ciburuy. Ada kepercayaan yang dipegang teguh yakni, tukuh (tradisi) yang disebut Tukuh Ciburuy. Salah satu tukuh yang dipegang kuat adalah tidak menerima pengunjung pada hari Selasa dan Jumat. "Pada hari-hari biasa pengunjung bisa datang, kecuali Selasa dan Jumat. Itu pantangan yang menjadi tukuh di tempat ini," terang Nana Sumpena (31), salah seorang juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy.

Nana menjelaskan, tradisi tidak menerima siapapun pada hari Selasa dan Jumat merujuk pada pada jaman dulu bahwa dua hari tersebut sering dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan internal. "Selasa adalah waktu yang dipakai untuk pertemuan (musyawarah), sedangkan Jumat untuk peribadatan (Jumatan)," kata dia.

Selain tukuh pantang menerima pengunjung pada hari Selasa dan Jumat, ada beberapa tukuh lain yang hingga saat ini terus diterapkan di situs yang berada di kaki Gunung Cikuray tersebut. Salah satu tukuh utama yang selalu dilaksanakan adalah membersihkan barang-barang yang tersimpan di tempat tersebut, terutama barang-barang berupa senjata seperti keris, peso, bedog, cupu, seledang, dan sejenisnya. Barang-barang tersebut setahun sekali, setiap Upacara Seba yang jatuh pada hari Rabu terakhir bulan Muharam dalam penanggalan Hijriyah, dikeluarkan untuk dibersihkan.

Barang-barang itu dibersihkan oleh sang kuncen tidak dengan sembarang minyak, melainkan dengan buah kaliki. "Buah tersebut dikeringkan dan di-sangray hingga tutung, kemudian dipakai untuk menggosok barang-barang yang harus dibersihkan setiap tahun," ujar Nana.

Pada setiap perayaan Upacara Seba pula ada tukuh yang dipercaya harus selalu ada, yakni 3 macam penganan khas setempat, berupa ladu, ulen, dan wajit. Meskipun secara umum ketiga jenis penganan tersebut ada di setiap daerah di Jawa Barat, rasa dan cara pengolahannya berbeda. Ladu, ulen, dan wajit tersebut dibuat dari jenis beras ketan asli yang dihasilkan di tempat tersebut. "Ladunya tidak dicampur tepung, sedangkan wajitnya tidak dibungkus," kata Nana.***

Minggu, 19 Agustus 2007

Merdeka Nyata

Tepat jam 12 malam tgl 17-08-2007, saya merasakan atmosfir euforia kemerdekaan bangsa kita, terasa dari mulai acara yang disiarkan semua stasiun televisi hingga sibuknya para panitia dadakan tiap RT yang bingung mencari dana talangan karena dana kumpulan dari warga tidak cukup untuk merealisasikan agenda kegitan yang mereka rancang untuk memberikan hiburan satu hari di hari kemerdekaan bangsa kita ini.

Tak mau ketinggalan para veteran-veteran kembali membuka ingatan sejarah perjuanganya mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan, yang dengan semangatnya menceritakan nilai-nilai patriotisme kepada cucu-cucunya yang ternyata lebih mempercayakan pahlawan bangsa ini pada gadget-gadget canggih yang bisa membawanya menjadi patriot apapun yang dikehendaki.

Di luar panitia dan para veteran, ada sebagian kelompok yang biasa di sebut Sosialis Koboi Kampung (Soskoka) dengan gaya dan cara yang berbeda memperingati hari kemerdekaan bangsanya. Mereka itu lebih nyata dan tidak sekedar memperingati saja, tapi lebih kepada tataran menyatakan kemerdekan individu-individunya masing-masing dan lebih langsung dapat dirasakan ketimbang para panitia dadakan dan para veteran yang hanya mendapat job kemerdekaannya tiap tanggal 17 Agustus saja.

Yang terakhir adalah kelompok Anak Kampung Sini (Akamsi), yakni gerombolan yang mencoba memerdekakan tidak hanya individu atau hanya merdeka lewat cerita. Merdeka bagi mereka adalah merdeka yang berkekuatan dan berkekuasaan karena menurut mereka merdeka adalah berkuasa.

Dengan rasa hormat kepada merdeka-merdeka yang lain, yang kalau saya masukan dalam tulisan ini akan memerdekakan saya kepada merdeka yang sesungguhnya, saya harus bertanya kepada seluruh manusia yang ada di dunia ini karena merdeka tiap individu berbeda.

Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan sebuah catatan kejadian yang saya liat tadi pagi di saat lagu Indonesia Raya dan bendera kita yang merah putih dikibarkan. Saya yang mengangap sebuah sosok yang mempunyai berbagai cara merdeka, ternyata tidak dimerdekakan dengan lagu dan bendera. Padahal salah satu bukti merdeka bangsa ini adalah ketika bendera dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Saya mencoba berbisik kepada para malaikat, terutama malaikat Izrail (pencabut nyawa) yang saya daulat sebagai bapak merdeka semua umat di dunia, tidak hanya individu atau bangsa-bangsa, karena kematian adalah kemerdekaan yang hakiki. Oleh karena itu mari kita serahkan tanggal kemerdekaan kita padanya karena akan sangat rugi kalau merdeka hanya tanggal 17 Agustus saja…



(posting by Adi 'Otonk' Supriadi, Repdem Cianjur)